Wisata Air terjun Jumog dibuka dan mulai dikembangkan kira-kira tahun 2003. Destinasi wisata ini merupakan model awal wisata pedesaan yang dikelola oleh warga atau otoritas pemerintah desa. Berbeda dengan destinasi wisata candi Sukuh atau Tahura Mangkunegoro I yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan atau BUMN.
Sebagai model awal, lantas menjadi tumpuan dan harapan, agar destinasi wisata tersebut sepenuhnya bisa meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian warga desa tersebut. Terbukti tahun 2021, melalui pengelolaan oleh BUMDes setempat, Pemerintah Desa Berjo berhasil membukukan keuntungan yang cukup besar. Kepala Desa sempat membagikan deviden dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) kepada warga yang tidak mampu.
Namun disisi lain destinasi wisata yang dikelola otoritas pemerintah desa ini juga memberi kesempatan kepada warga sekitar untuk berpartisipasi sekaligus menyediakan tempat untuk sumber mata pencaharian warga. Pengelola menyediakan lapak-lapak kepada warga untuk berjualan makanan dan souvenir.
Apakah dari sisi ini, wisata Air terjun Jumog telah berdampak? Seorang mahasiswi bernama Eko Riyani pernah melakukan kajian sederhana tentang ini. Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta itu pada tahun 2018 menulis skripsi untuk memperoleh gelar sarjana strata satunya dengan judul Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Obyek Wisata Alam Air Terjun Jumog dan Dampak Terhadap Kondisi Ekonomi Masyarakat (Studi di Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar).
Berdasarkan hasil penelitiannya ia menyimpulkan bahwa pengembangan objek wisata Air Terjun Jumog memberikan dampak terhadap peningkatan kondisi ekonomi masayarakat sekitar. Dampak yang paling dirasakan dari pengembangan wisata ini adalah peningkatan pendapatan, peningkatan kegiatan ekonomi, industri kreatif mulai tumbuh, hasil pertanian dan peternakan warga meningkat karena mereka menjualnya di objek wisata.
Selanjutnya ia juga menemukan bahwa seiring berjalannya waktu ada peningkatan penjualan kerajinan dan dengan menjualnya di lokasi wisata ini maka memperluas promosi barang lokal untuk bisa lebih dikenal publik yang lebih luas. Berbagai perubahan ini dampak akhirnya menyebabkan berkurangnya pengangguran.
Selain peningkatan ekonomi warga yang ikut berjualan, Eko Riyani juga menyebutkan bahwa ada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan wisata ini dengan adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, yang bisa dilihat pada saat ada rapat untuk membicarakan kegiatan/progam pada objek wisata masyarakat terlibat secara langsung. Masyarakat juga mau untuk bergotong royong secara suka rela. Kolaborasi antara pengelola dengan masyarakat ini pada akhirnya memberikan dampak positif dengan adanya peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Air Terjun Jumog setelah adanya pengembangan wisata.
Eko Riyani melakukan penelitian ini dengan cara langsung mewawancarai pedagang, petugas lapangan, pengelola, aparat desa, warga yang ada disekitar lokasi, pengunjung dan melakukan observasi lapangan pada tahun 2018.
Meskipun penelitian ini dilakukan pada tahun 2018, jauh sebelum terjadi pandemi global yang meluluhlantakkan industri wisata di banyak tempat di dunia, namun banyak hal masih cukup relevan. Hingga sekarang wisata Air Terjun Jumog masih cukup stabil sebagai sumber pendapatan asli desa (PADes) Desa Berjo.