Kolaborasi Menjamin Keberlanjutan Tahura Mangkunagoro I

Kalau kita berwisata ke candi Sukuh, maka terasa belum lengkap kalau belum mengunjungi Taman Hutan Rakyat (tahura) Mangkunegoro I atau Tahura Ngargoyoso. Dari kompleks Candi Sukuh, Anda bisa lanjut jalan kaki atau naik kendaraan ke arah timur. Tidak terlalu lama Anda akan langsung menikmati suasana hutan tropis yang sejuk bahkan cenderung dingin.

Sebuah lapangan terbuka yang berada di dekat kantor pengelola

Tahura ini secara institusi di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Tahura Mangkunagoro I yang terletak di lereng Gunung Lawu sisi Barat saat ini merupakan satu-satunya Tahura yang ada di Jawa Tengah dan satu-satunya kawasan hutan konservasi yang dikelola oleh Pemerintah Daerah yang juga menjadi kebanggaan daerah. Tahura Mangkunagoro I merupakan kawasan pelestarian alam dengan luas ± 231,3 ha secara administratif berada di Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah.

Bagi Anda yang sejak lama tinggal di kawasan Berjo, tentu sudah maklum bahwa hutan di lereng Gunung Lawu dalam penguasaan negara dan dikelola oleh BUMN Perum Perhutani. Barangkali ada yang ingat ketika pada tahun 70-an hingga tahun 80-an ada satu dua truk perhutani yang sering hilir mudik membawa bibit pohon hutan seperti pinus, cemara, atau mahoni ke dan dari Sukuh.

Tahun 90-an, perhutani mulai membuka akses ke wilayah yang lebih jauh ke dalam kawasan hutan ini. Seiring mulai berkembangnya kebutuhan destinasi wisata. Sebelumnya pemberdayaan dan pengelolaan hutan ini hanya terkait pemanfaatan sumber daya hutan saja seperti pemanfaatan rumput, dan kayu. Sehingga sejak lama pula masyarakat di dusun-dusun sekitar hutan lerang barat Gunung lawu tersebut biasa mengambil rumput dan kayu untuk keperluan sehari-hari.

Sehingga ketika kawasan ini dikembangkan menjadi tahura dan menjadi kawasan wisata maka muncul pemikiran ulang tentang relasi antar komponen yang akan terlibat dalam pengelolaanya. Untuk memetakan permasalahan ini Khabib Bima Setiyawan, dari Program Studi Magister Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta pernah melakukan penelitian yang dimuat di Jurnal Sosiologi Pertanian pada bulan Juni 2019.

Seorang “pengaram” sedang mengangkut rumput dengan motornya yang diambil dari kawasan Tahura Ngargoyoso

Dalam penelitian yang berjudul Modal Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat: Studi Kasus di desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah itu, Khabib mendapat kesimpulan bahwa dalam pengelolaan hutan di Desa Berjo, terdapat tiga pihak yang berkolaborasi yaitu Taman Hutan Raya (Tahura), Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani), dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Hijau Lestari, sebuah lembaga desa yang anggotanya adalah masyarakat atau warga yang berinteraksi dengan hutan negara. Fungsi-fungsi yang dimainkan masing-masing pihak berjalan efektif karena adanya modal sosial di antara mereka. Modal sosial tersebut mengikat mereka untuk mencapai tujuan bersama melalui bekerjanya unsur kesalingpercayaan (mutual trust), jaringan sosial (social networking), kepatuhan kepada norma sosial (compliance to social norms) dan hubungan resiprositas (reciprocity relationship). Unsur-unsur ini telah bekerja sebagai perekat sosial (social glue) antara LMDH, Perhutani dan Tahura dalam berkolaborasi untuk perwujudan tujuan hutan rakyat yakni kesejahteraan dan kelestarian.

Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 1 (4) diatur bahwa “hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.”

Kantor pengelola Tahura Mangkunagoro I (Tahura Ngargoyoso)

Namun sejak lama, secara norma informal sudah ada kesepakatan dari nenek moyang warga yang tinggal di dekat kawasan hutan tersebut yang sampai sekarang masih diberlakukan antara Perhutani dan masyarakat (LMDH) yaitu setiap warga diberikan hak seluas 0,25 ha hanya untuk mengambil rumput tanpa mengubah struktur tanah. Kesapakatan tersebut menyebabkan terjadinya hubungan resiprositas antara Perhutani dan LMDH.

Perhutani diuntungkan dengan aktivitas rutin setiap hari oleh pengaram (sebutan bagi pengambil rumput, dan pupuk hijauan rumput di sebut “aram” oleh penduduk lokal) yang setiap hari masuk hutan mengambil rumput sekaligus sebagai upaya pengamanan hutan oleh masyarakat mengingat hanya terdapat empat petugas Perhutani di Resort Pangkuan Hutan Tambak. LMDH juga melakukan reboisasi hutan secara gotong royong, pelaksanaan program kerja pembukaan objek wisata, dan pengamanan hutan setiap masyarakat untuk mengambil rumput. Sementara LMDH diuntungkan dengan mendapatkan bahan baku dari rumput untuk makan hewan ternak. Keuntungan lain yaitu menjaga pohon agar dapat menyerap air secara maksimal.

Studi ini cukup penting bagi pengembangan model perhutanan sosial di hutan-hutan tropis dataran tinggi di Pulau Jawa. Di mana kawasan yang dikelola Perum Perhutani banyak yang mulai beralih fungsi dari sekedar pemanfaatan hasil hutan kayu, ke kawasan wisata. Selain tentu saja bermanfaat bagi pengembangan tahura Mangkunegoro I itu sendiri di masa yang akan datang. Paling tidak akan bermanfaat agar keberlanjutan Tahura Mangkunegoro I bisa terjamin.

more recommended stories