Tanah lereng Gunung Lawu bagian barat adalah tempat lahirnya komunitas-komunitas besar yang kalau ditelusuri hingga generasi sekarang merupakan warga yang mendiami wilayah ini. Meski ada yang berdisapora, menyebar ke barbagai wilayah.
Sebut saja trah Pordjo Abdul Ghani atau trah Madyokromo. Mungkin masih banyak lagi trah-trah yang lain yang lahir di kawasan itu. Namun dua trah itu bisa jadi adalah leluhur yang anak cucunya kemudian banyak yang mewarnai kehidupan sosial di banyak tempat saat ini.
Karena trah Pordjo Abdul Ghani merupakan salah satu trah yang cukup berpengaruh di wilayah ini, maka tidak ada jeleknya mengenalnya lebih detail.
Mengutip dari Buku Kenangan Kekerabatan Trah Bani Pordjo Abdul Ghani edisi kedua tahun 2019 diperkirakan Pordjo Abdul Ghani hidup antara pertengahan abad 19 hingga awal 20 atau antara 1850-an hingga 1930-an. Tempat tinggal semasa hidup adalah di Dusun Pabongan, Desa Berjo.
Diperkirakan Pordjo Abdul Ghani tidak sempat mengenyam pendidikan baik formal maupun informal. Diperkirakan juga tidak memiliki kemampuan baca tulis.
Dalam kehidupan bermasyarakat Pordjo Abdul Ghani pernah menduduki jabatan lurah atau semacam pamong desa. Pordjo Abdul Ghani merupakan seorang tokoh masyarakat di zaman dan lingkungannya di samping tokoh-tokoh lain seperti ulu-ulu, modin atau bekel.
Jika dilihat sejarah tahun-tahun kehidupannya yang merupakan masa-masa kekuasaan kerajaan Kasunanan Surakarta, berarti Lurah Pordjo Abdulghani diangkat oleh Kanjeng Sinuwun ke-IX dari Surakarta dengan Beselit.
Berdasarkan literatur, jabatan pamong desa pada masa itu tidak digaji dari penguasa atasnya, tetapi mendapat sebidang tanah yang dapat digarapnya sebagai kompensasi bagi pekerjaannya yang disebut tanah bengkok. Konon tanah bengkok yang menjadi haknya itu berlokasi di sekitar Dusun Babadan.
Konsep jabatan pamong desa erat berkaitan dengan konsep otonomi desa di Jawa, yang telah berlaku semenjak periode Hindu-Buddha dan bahkan mungkin sejak periode sebelumnya.
Masih menurut buku tersebut, pekerjaan Lurah Pordjo adalah mendistribusikan bantuan bahan pangan untuk rakyat. Sebelum didistribusikan bahan bantuan seperti beras digelar di ruang belakang yang disebut mah ndopo (pendopo) hingga memenuhi ruangan. Kemudian orang-orang berdatangan untuk nyadong (mengambil) jatah. Sepeninggal Pordjo jabatan Lurah dilanjutkan oleh Martowijoyo, anaknya.
Menurut buku tersebut, berdasarkan pendataan tahun 2018, Pordjo Abdul Ghani memilik 5 Anak, 30 Cucu, 108 cicit, 247 canggah, dan 59 wareng. Jumlah ini tentu sudah bertambah, seiring berjalannya waktu. Kelima anak Pordjo Abdul Ghani adalah Yusuf Harso Suwito, Danu Martowijoyo, Surisman Iman Bukhari, Kusiyem, dan Tumiyem.
Menurut Sumadi, mantan bendahara paguyuban Bani Pordjo Abdul Ghani, anak cucu keturunan Pordjo Abdul Ghani mulai membangun paguyuban dan melaksanakan pertemua rutin sejak tahun 2004. Paguyuban ini diinisiasi oleh alm. Soeharno, Prof. Dr. Furqon Hidayatullah, M.Pd. dan Sumadi.
“Kurang lebih sudah 27 tahun kegiatan pertemuan keluarga berlangsung,” ucapnya dalam pertemuan 25 April 2023 lalu.
Kelima anak Pordjo Abdul Ghani sudah wafat semua, bahkan sebagian besar cucunya juga telah tiada. Yang masih ada sekarang tinggal cicit, canggah dan wareng.
Mereka telah menyebar ke berbagai daerah. Meskipun juga masih banyak yang tinggal di kawasan lereng barat Gunung Lawu itu. Mereka juga menyebar dalam berbagai profesi dan komunitas. Tak sedikit dari mereka memiliki pengaruh yang baik di lingkungannya.
Mereka banyak menjadi tauladan dalam kehidupan sosialnya. Trah Pordjo Abdul Ghani adalah salah satu trah yang melahirkan komunitas yang anggotanya berpengaruh di masyarakat dalam lingkup yang luas.