Ketika suatu wilayah dilintasi sebuah sungai atau kali maka akan terjadi pembelahan wilayah tersebut menjadi dua bagian. Wilayah bagian kiri di satu pihak dan wilayah di kanan sungai di pihak lain. Keterbelahan semacam ini bisa saja sama-sama menguntungkan penduduk di kedua sisi. Tetapi kadang juga hanya menguntungkan salah satu sisi saja. Maka jangan heran penduduk yang terpisahkan oleh bantaran sungai akan mengalami rivalitas antara kedua belah pihak baik rivalitas sehat maupun tidak sehat.
Akan halnya sebuah wilayah di Lereng Lawu tepatnya desa atau kalurahan Berjo juga terbelah oleh sebuah bantaran sungai atau kali. Sungai ini tidak memiliki nama ataupun penyebutan secara khusus. Yang jelas sungai dimaksud bersumber di suatu tempat di lereng gunung Lawu kemudian di satu titik melewati sebuah jurang yang dalam, yaitu jurang Jumog. Di titik ini kemudian dinamai Grojogan Jumog yang kini menjadi tempat wisata sangat kondang yaitu air terjun atau grojogan Jumog.
Dari grojogan Jumog sungai terus membentuk aliran yang nan jauh ke arah barat dengan aliran yang nyaris lurus tanpa ada belokan yang berarti. Dengan demikian kali ini membelah wilayah kalurahan Berjo menjadi dua bagian. Utara sungai disebut dengan wilayah lor kali dan selatan sungai dikenal dengan nama wilayah kidul kali yang kadang orang menyingkatnya menjadi dul kali. Uniknya luas wilayah di kedua sisi kali relatif sama luasnya dan secara kasat mata jumlah penduduk juga sama jumlahnya. Di wilayah lor kali ada sederet dusun seperti Pabongan, Sukuh, Gendongan, Gondang, Selorejo, Berjo dll. Semendara di wilayah dul kali berderet dusun-dusun seperti Bangkang, Plesungan, Dukuhan, Tambak, Gero, Tlogo dst. Uniknya lagi dusun Tagung yang secara de facto menjadi ibukota kalurahan Berjo karena menjadi tempat berdirinya kantor kalurahan yang mengurus kepentingan dan nasib penduduk di kedua sisi kali di bidang pemerintahan, nyaris terletak di tengah-tengah kedua wilayah karena posisinya hanya beberapa ratus meter di utara sungai. Potensi sumber daya kekayaan alam yang tersedia di kedua sisi juga relatif sama seimbang.
Awal mulanya terbelah
Terbelahnya sebuah wilayah tidak serta merta menjadikan penduduk yang berdiam di satu sisi lebih diuntungkan dalam berbagai bidang dibanding penduduk yang tinggal di seberangnya. Pun juga tidak ada kebijakan pemerintah yang menganakemaskan penduduk di salah satu sisi kali dan menganaktirikan tetangga yang ada di seberangnya. Singkatnya semua penduduk dimanapun tempat tinggalnya. Baik di utara kali maupun di selatan kali sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Di depan hukum mereka semua berdiri sama tinggi duduk sama rendah.
Namun demikian ada saja hal yang mendorong munculnya rivalitas antar penduduk di kedua sisi kali. Padahal penduduk dari kidul kali dan mereka yang ada lor kali merupakan orang-orang dari etnis yang sama, yaitu sesama jawa yang mewarisi nilai-nilai luhur kasunanan Surakarta. Kedua kelompok memiliki tradisi dan menghayati nilai-nilai yang sama, juga berbicara dengan dalam bahasa dan logat yang sama. Kedua kelompok penduduk ibarat dua saudara kandung yang lahir dari rahim yang sama. Hanya sebuah bantaran kali yang mengalir di bukit Jumog yang memisahkan mereka.
Mulanya sekedar sekelompok orang yang sedang berkumpul di suatu forum yang kehabisan ide obrolan. Ketika semua terdiam karena tidak ada suatu gagasan yang bisa didiskusikan dengan hangat tiba-tiba ada yang menyeletuk pembicaraan tentang keterbelakangan saudara-saudara mereka yang berada di selatan kali. Pembicaraan itu pada intinya mencoba menstigmasi bahwa warga kidul kali merupakan warga yang terbelakang atau tidak maju. Sedangkan mereka yang berada di lor kali merasa lebih beradab dan pintar. Tentu saja stigmatisasi demikian ini tidak beralasan serta tidak didukung oleh fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun demikian topik obrolan ini mendapat sambutan antusias di tengah-tengah orang-orang yang berkumpul yang kehabisan ide itu. Diskusi santai tentang ketertinggalan warga kidul kali ini menjadi hangat. Beberapa orang saling menambahan argumentasi masing-masing dan diantaranya ketika ada seseorang yang melengkapi obrolannya dengan satu hal yang lucu langsung disambut ledakan tawa di antara orang-orang yang berkumpul itu.
Memicu stigmatisasi
Pada suatu saat tema stigmatisasi keterbelakangan warga kidul kali ini menjadi tema obrolan yang sangat menarik dan hangat. Di mana ada orang berkumpul maka topik obrolan keterbelakangan warga kidul kali menjadi bahan diskusi utama. Dalam setiap forum apapun topik ini yang selalu menjadi bahan perbincangan yang hangat. Pada tahun 1970-an untungnya belum ada Twitter atau medsos sejenisnya. Seandainya sudah ada tentu topik stigmatisasi warga kidul kali terbelakang akan viral dan menjadi trending topik yang bukan tidak mungkin bisa menimbulkan konflik yang serius. Karena demikian masifnya topik ini diperbincangkan di berbagai forum, seperti forum hajatan, forum rapat RT / RW, forum kerjabakti dan forum-forum lainnya maka stigmatisasi ini tertanam di alam bawah sadar pada sebagian orang. Akhirnya kesimpulan yang salah tentang warga kidul kali yang dipersepsikan terbelakang dan warga lor kali yang lebih maju menjadi kesepakatan umum yang tidak tertulis.
Lalu bagaimana reaksi warga kidul kali yang dipersepsikan sebagai warga yang terbelakang? Sudah barang tentu obrolan yang merendahkan mereka oleh saudara-saudara mereka dari lor kali ini juga sampai ke telinga mereka. Dan sudah barang tentu mereka tidak terima dengan hinaan semacam ini. Tetapi karena tudingan yang dialamatkan kepada mereka hanya dalam bentuk obrolan di forum kumpulan orang yang kehabisan ide pembicaraan maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa mereka lakukan untuk membalas hinaan itu hanya dengan obrolan yang sama dengan cara menuding balik bahwa yang terbelakang justru warga lor kali. Kondisi ini memicu saling mengolok antara warga lor kali dan warga kidul kali. Yang terjadi adalah semacam ada perang dingin di antara kedua belah pihak yang mengarah pada rivalitas.
Lalu sebenarnya sejauh mana tingkat perselisihan antar dua kelompok warga yang masih serumpun yang hanya dipisahkan oleh bantaran kali ini? Bisa dipastikan dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah terjadi insiden apapun selain saling mengolok-olok. Belum pernah ada kasus pertengkaran yang dipicu oleh rivalitas ini. Namun demikian lantaran sengitnya perang opini pernah ada kebijakan yang diambil berdasarkan rivalitas antara kedua kelompok warga. Yaitu pada tahun 1970-an di dusun Tagung yang menjadi ibukota Kalurahan Berjo sekolah dasar negeri yang notabene sekolah yang didirikan oleh pemerintah ada dua entitas sekolah yang keduanya berada di satu komplek yang sama yaitu SD Negeri Berjo I dan SD Negeri Berjo 2. (Sebagai catatan pada tahun 2022 ini di lokasi tersebut tinggal hanya satu sekolah saja) Dan Anda boleh percaya boleh tidak ada kesepakatan yang tidak tertulis dimana SD Negeri Berjo I dikhususkan menampung murid-murid dari lor kali dan SD Negeri Berjo 2 diperuntukkan murid-murid dari kidul kali. Jadi di dalam satu komplek itu terdapat dua sekolah yang terpisah secara manajemen maupun secara fisik ruang kelas maupun ruang kantor guru meskipun masih di bawah satu atap. Yang menarik murid-murid dari kedua sekolah tidak pernah terlihat membaur bermain bersama meskipun ada waktu istirahat bebas dalam waktu atau jam yang sama. Jadi anak-anak SDN Berjo I yang merupakan warga lor kali hanya bermain dengan sesama kelompoknya demikian pula murid-murid SDN Berjo 2. Tidak ada yang saling membaur dalam berbagai kesempatan sehari-hari. Satu-satunya momen dimana para murid dua sekolah ini berkumpul bersama hanyalah pada saat upacara bendera yang digelar setiap hari senin pagi yang petugasnya bergantian antara murid yang ditunjuk. Adanya dua entitas ini memang memicu terjadinya rivalitas antara kedua sekolah, khususnya di kalangan murid saja bukan antar guru. Seolah mengorkestrasi obrolan orang-orang dewasa murid-murid SD ini juga mempersepsikan murid-murid dari kidul kali tertinggal dibandingkan teman-teman mereka yang dari lor kali. Namun untuk kejadian saling mengolok-olok di kalangan murid SD masih bisa dimaklumi karena memang secara naluriah mereka dalam usia dan fase yang memiliki naluri kekakanak-kanakan yang masih suka untuk saling bersaing, bertengkar dan berkelompok berdasarkan suatu ikatan kesukuan dan ikatan lainnya.
Dengan latar belakang faktor karakter psikologis anak-anak suasana rivalitas di kalangan murid dari kedua sekolah terasa lebih nyata. Pada tahun 1977 untuk tujuan peningkatan kualitas belajar murid dalam menghadapi Ebtanas, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (sekarang istilahnya UN, Ujian Nasional) ada inisiatif untuk menggabungkan khusus murid-murid kelas 6 dari kedua sekolah dalam satu kelas. Tanpa diduga dalam penyatuan dua kelompok murid yang berasal dari latarbelakang yang berbeda ini timbul ketegangan. Murid-murid dari SDN 1 secara sistematis mengolok-olok teman-teman mereka dari SDN 2. Akibatnya setelah satu minggu penggabungan berjalan murid-murid SDN 2 menolak digabung dan minta belajar terpisah seperti sebelumnya karena merasa tidak tahan diolok-olok dan suasana belajar jadi tidak nyaman. Untungnya perselisihan ini bisa diatasi dengan nasihat para guru dan kepala sekolah agar dua kelompok murid dari kedua belah pihak rukun dan saling membantu.
Pertanyaannya sebenarnya rivalitas masyarakat lor kali dan kidul kali ini memang nyata ada atau hanya sekedar ilusi. Dalam interaksi sosial kemasyarakatan antara kedua pihak memang tidak ditemukan fakta yang bisa dijadikan acuan adanya rivalitas. Akan tetapi adanya rivalitas secara diam-diam bukan hanya isapan jempol belaka. Namun melihat adanya dua sekolah yang masing-masing menampung murid yang berbeda asal tempat tinggal mereka rivalitas dua kelompok masyarakat memang nyata terjadi.
Seiring dengan berjalannya waktu cara pandang terhadap terjadinya rivalitas bahkan konflik juga mengalami pergeseran. Di masa lalu kata rivalitas sudah menimbulkan konotasi yang mengkhawatirkan. Selama rivalitas antara dua kelompok masyarakat masih dalam batas-batas kewajaran tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dalam hal ini pemangku kekuasaan wajib memantau segala dinamika yang terjadi di lingkungan kelompok masyarakat. Jika ada gejolak awal yang berpotensi menjadi semacam kerusuhan memang perlu diambil tindakan pencegahan sejak dini. Adanya rivalitas antara masyarakat yang ada di kidul kali dan lor kali masih dalam taraf bisa ditolerir.
Rivalitas warga kidul kali dan lor kali adalah rivalitas sehat. Ini merupakan dinamika yang positif yang akan memacu semangat kedua kelompok untuk menjadi kelompok yang tampil lebih baik. Dan jika ditengok lebih jauh secara kasat mata tidak terlihat pihak warga kidul kali yang merasa tersinggung oleh olok-olokan ini. Sebagai pihak yang menjadi sasaran olok-olokan belum pernah ada upaya protes atas perlakuan terhadap mereka. Dengan demikian masyarakat kedua belah pihak tetap hidup rukun saling berdampingan. Apalagi sudah beberapa periode putra kidul kali terpilih menjadi kepala desa atau lurah. Keadaan ini telah mampu menghilangkan perasaan rendah diri di kalangan mereka yang diakibatkan adanya tindakan mengolok-olok. Selain itu dewasa ini tidak sedikit warga kidul kali yang berhasil mengenyam pendidikan hingga jenjang universitas dan menduduki posisi jabatan publik yang strategis.
Rivalitas antara dua kelompok warga justru yelah mendorong masing-masing pihak untuk bekerja lebih keras, bersikap dewasa, berpikir positif dan memandang jauh ke depan. Dengan demikian di kawasan lereng Lawu akan muncul kehidupan masyarakat makmur, maju dalam berbagsai aspek. Masyarsakat yang dinamis namun tetap terjalin kerukunan di antara kelompok-kelompok warga.