Lengkingan Suara Gareng Pung di Lereng Gunung Lawu

Hingga dekade 1990-an, kawasan lereng Gunung Lawu belum seramai sekarang. Suasana keseharian selalu sunyi dan senyap. Namun pada saat-saat tertentu kadang ada keriuhan. Bukan bising kendaraan bermotor atau orang sedang tawuran. Melainkan muncul suara hewan.

Selain suara hewan yang dipelihara oleh penduduk seperti sapi, kambing, kerbau, atau ayam, juga ada suara hewan liar. Misalnya suara jangkrik di senja hari, atau suara gareng pung di siang atau sore hari.

Suara gareng pung ini menjadi fenomena menarik di pedesaan lereng Gunung Lawu. Karena sering menimbulkan suara seperti orkestra. Suaranya melengking keras dan kadang saling bersahutan. Membuat desa-desa di lereng Gunung Lawu itu jadi ramai, riuh rendah.

Gareng pung atau ada yang menyebut tonggeret, tidak asing bagi masyarakat lereng Gunung Lawu. Suaranya yang nyaring di akhir musim penghujan menjadi tanda tersendiri bahwa musim akan berganti kemarau.

Banyak nama untuk Tonggeret ini. Di negara jepang disebut Semi, di Perancis disebut Cigale, di Spanyol disebut Cigarre, di Sunda disebut Cengreret, di Jawa disebut Garengpung.

Serangga ini yang bentuknya mirip lalat namun ukuran nya lebih besar. Meskipun bukan spesies yang sama dengan lalat, serangga ini sangat menarik perhatian bagi kalangan pecinta serangga. Tidak seperti halnya serangga lainnya, tonggeret tidak mengunyah makanannya, melainkan dengan cara menancapkan mulutnya yang seperti jarum dan menghisap sari makanan nya dari dalam batang pohon.

Di dunia biologi, tonggeret dikenal sebagai serangga yang siklus hidupnya dianggap tidak sempurna. Terdapat empat fase metamorfosis tonggeret, yaitu fase larva atau telur, nimfa, muda dan tonggeret dewasa. Meskipun tidak semua tonggeret jantan dewasa yang dapat mengeluarkan suara nyaring, namun hanya sedikit tonggeret betina yang dapat melakukannya. Setiap spesies memiliki nyanyian yang berbeda agar tidak terjadi kesalahan kawin dengan spesies lain.

Setelah musim kawin, tonggeret betina akan bertelur dengan membuat celah pada batang pohon dan meletakkan telur-telurnya melalui organ ovipositor di bagian belakang tubuhnya. Larva kemudian menetas menjadi nimfa dengan memakan cairan yang ada pada pohon. Bentuknya seperti rayap atau semut kecil berwarna putih susu.

Setelah siap dengan bekalnya, nimfa akan jatuh ke tanah untuk memasuki fase perubahan menjadi tonggeret muda. Nimfa akan membuat lubang-lubang kecil dalam tanah dan mengubur dirinya hingga bertahun-tahun lamanya untuk kemudian merayap keluar menjadi tonggeret muda yang masih berwarna putih pucat dengan ukuran sayap yang relatif kecil.

Terdapat tiga jenis tonggeret, yaitu jenis tonggeret tahunan, dimana siklus hidupnya terjadi dalam waktu setahun. Jenis kedua adalah tipe periodik atau berkala, dimana fase nimfa nya bisa bertahan 8 hingga 17 tahun terkubur didalam tanah sebelum menjadi tonggeret muda. Jenis ketiga adalah Proto-periodik, yang bisa saja muncul tiap tahun dan beberapa tahun kemudian juga akan muncul, namun dalam jumlah yang besar secara sekaligus.

Tonggeret memiliki siklus hidup yang panjang. Fase nimfanya menghabiskan waktu sekitar 6-7 tahun dalam tanah. Selama masa perkembangannya, tonggeret mengalami 4 kali ganti kulit walaupun terkadang ada yang mengalami 5 kali ganti kulit tergantung jenis individunya.

Pergantian kulit nimfa menjadi dewasa umumnya terjadi pada saat setelah hujan. Waktu yang mereka butuhkan untuk ganti kulit kurang lebih satu jam atau kadang-kadang lebih.

Umumnya serangga ini berwarna hijau muda atau coklat tetapi kadang-kadang ada yang bermotif batik. Sayapnya kokoh, dan tembus pandang, sehingga semua venasi atau pertulangannya terlihat jelas. Ketika istirahat, sayapnya mereka rentangkan ke belakang sepanjang abdomennya sehingga mirip seperti atap. Sayap yang panjang menutupi sayap yang lebih pendek.

Tonggeret atau garengpun adalah jenis serangga angota sub-ordo Cicadomorpha ordo Homoptera. Serangga ini dikenal memiliki suara nyaring yang ia bunyikan dari pepohonan. Di Indonesia, suara binatang ini akan nyaring terdengar di akhir musim penghujan.

Bersumber dari penelitian Arunika Anggradewi (2008), dari Fakultas Pertanian, IPB University menyebutkan lebih kurang 2500 spesies tonggeret telah tercatat di dunia. Sebagian besar serangga ini hidup di daerah tropis dan subtropis.

Di Indonesia, jumlah spesies tonggeret mencapai 235 jenis. Spesies satwa ini dapat kita temui di beberapa pulau di Indonesia meliputi Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, dengan ketinggian 200-1400 mdpl. Yang sering muncul di lereng Gunung Lawu hanya beberapa diantaranya saja.

Tonggeret dapat hidup pada daerah dengan iklim sedang sampai tropis. Secara morfologi, panjang badan serangga ini bervariasi antara 0,8-6,5 cm. Bentuk kepalanya pendek, melebar dan letaknya melintang.

Imago tonggeret memiliki badan yang tebal dengan dua pasang sayap yang berukuran 2,5-15 cm. Abdomennya terdiri dari 9-10 segmen.

Lebih lanjut, spesies unik ini memiliki alat penghasil dan penerima suara yang sangat kompleks. Alat penghasil suara atau timbal (tymbals) umumnya terdapat pada serangga jantan, sedangkan alat penerima suara atau timpana (tympana) tumbuh pada serangga jantan dan betina.

Suara tonggeret jantan dapat berfungsi sebagai alat berkomunikasi untuk memanggil betina yang akan ia kawini. Adapun fungsi suaranya antara lain sebagai sinyal tanda bahaya, dan sebagai tanda kematian yang biasanya terdengar seperti suara tangisan yang lebih lirih dan lembut. Pada dasarnya betina juga dapat bernyanyi, akan tetapi suara yang mereka hasilkan terdengar lirih atau lembut dan hanya dapat terdengar oleh para jantan. Hal ini karena tonggeret betina hanya memiliki sedikit kantung udara.

Sebagian besar abdomen betina penuh oleh organ reproduksi dan organ pencernaan sehingga tidak memiliki resonansi suara dan suara yang dihasilkan sangat lemah. Walaupun dari segi suara tonggoret betina tidak semenonjol tonggeret jantan, tetapi para betina memiliki kemampuan pendengaran yang lebih sensitif ketimbang jantannya.

Fenomena suara gareng pung di lereng Gunung Lawu ini tentu unik. Sebab bagi orang-orang yang tinggal di perkotaan, suara ini mungkin sudah jarang terdengar. Di lereng Gunung Lawu, saat siang sampai sore akan terdengar suara serangga kecil itu. Kalau suaranya terdengar, berarti itu pertanda musim akan segera berganti.

Dalam kearifan lokal dan tradisional masyarakat Jawa yang tinggal di lereng Gunung Lawu, kemunculan gareng pung ini juga menjadi pertanda perubahan musim yang dicatat dalam sistem kalender Jawa.

Kemunculan gareng pung ini sebagai penanda masuk mangsa Kasanga dalam pranata mangsa. Lebih jelasnya lihat tabel di bawah.

PRATELAN MANGSA (PERHITUNGAN MUSIM)

No mangsa umur hari tanggal mulai arti kias (candra) keadaan
1 Kasa 41 22 Juni Sotiyo murca ing embanan (permata hilang dari pelukan) Gegodongan mbrindili (daun mulai gugur)
2 Karo 23 2 Agustus Bantala rengka (bumi retak) Lemah nela (tanah peceh-pecah)
3 Ketiga 24 25 Agustus Suta manut ing bapa(anak patuh pada ayah) Lunglungan mrambat
4 Kapat 25 18 September Waspa kumembeng jroning kayun (air mata di pelupuk) Sumber asat (mata air kering)
5 Kalima 27 13 Oktober Pancuran mas sumawur ing bumi (air mancur emas tersebar di bumi) Wiwit udan(hujan mulai tiba)
6 Kanem 43 9 November Rasa mulya kasucian (rasa kebahagiaan tersucikan) Ungsum woh-wohan (musim buah-buahan)
7 Kapitu 43 22 Desember Wisa kentar ing maruta (bisa/racun terbawa angin) Akeh lelara(banyak penyakit)
8 Kawolu 26/27 3 Februari Anjrah jroning kayun (masuk dalam hati) Uret, gandik(hewan mulai kawin)
9 Kasanga 25 1 Maret Wedaring wacana mulya (terungkapnya arti kebahagiaan) Gareng (tonggeret mulai bersuara)
10 Kasepuluh 24 26 Maret Gedong mineb jroning kalbu (gedung tertutup dalam hati) Kewan-kewan meteng (hewan-hewan bunting)
11 Desta 23 19 April Sotiya sinara wedi (permata teman sejati) Ngloloh, randu kembang (hewan beranak)
12 Sadha 41 12 Mei Tirta sah ing maruto (air tertiup angin) Bediding (musim dingin)

Meskipun pranata mangsa dalam sistem kalender Jawa tersebut sudah semakin jarang dipakai, namun kemunculan gareng pung masih terjadi di lereng Gunung Lawu. Dan saat ini cenderung sudah tidak sesuai dengan pranata mangsa tersebut. Hal ini dimungkinkan karena iklim global juga sudah mulai berubah. Seperti gareng pung yang sempat dijumpai di Dusun Pabongan pada bulan Oktober 2020. Di mana bulan Oktober seharusnya justru berakhirnya musim kemarau dan segera masuk musim penghujan.

Wallahu a’lam

Gareng pung yang sempat muncul di Dusun Pabongan, Berjo, Ngargoyoso, bulan Oktober 2020

more recommended stories