Kisah Guyonan dalam Memodifikasi Pesawat Radio

Anda yang kini hidup di tahun 2021 tidak akan bisa membayangkan betapa sulitnya warga Lereng Lawu mendapatkan hiburan berupa mendengarkan musik favorit pada era tahun 70 – 80an. Kalau di jaman sekarang Anda tinggal buka smartphone dengan beberapa klik Anda bisa menikmati lagu tanpa batas, nyaris tanpa biaya. Tak perlu pengorbanan. Tapi masyarakat yang tinggal di kawasan Lereng Lawu di sebelah timur Kota Solo ini pada akhir tahun 70-an dan awal dasawarsa 80-an memerlukan perjuangan berat untuk sekedar bisa mendengarkan hiburan, dalam hal ini musik tradisional Jawa berupa gending-gending Jawa yang menurut istilah warga setempat dikenal dengan “klenengan”. Kisah tentang bagaimana masyarakat Lereng Lawu yang sangat gemar dengan klenengan dan beberapa wujud seni khas Jawa lainnya sudah pernah diulas di rubrik ini, seperti dalam artikel berjudul “Sebuah Batu Yang mengeluarkan pesan diskriminatif.” Kali ini kami tampilkan sebuah cerita bagaimana masyarakat pada masa lampau memodifikasi pesawat radio agar bisa mendengarkan musik Jawa yang disebut klenengan.

Kebutuhan akan hiburan bagi masyarakat setempat pada saat istirahat sangat tinggi. Apalagi ketika badan merasa capek setelah bekerja seharian di ladang atau pergi ke hutan kalau tidak diikuti hiburan seolah rasa capek tidak pernah hilang. Oleh karena itu hiburan meskipun sekedar berupa menikmati suara gending yang merdu mutlak diperlukan. Cara paling mudah untuk menikmati klenengan yang merupakan jenis kesenian Jawa favorit masyarakat setempat adalah dengan cara menghadiri pementasan langsung yang biasanya digelar oleh warga yang punya hajat seperti pernikahan atau sunatan. Bahkan jika ada tetangga yang punya hajat yang dimeriahkan dengan hiburan klenengan atau bahkan wayangan, orang tidak sekedar memperoleh kenikmatan di telinga tetapi juga di lidah karena di even itu juga disuguhkan aneka makanan enak. Sebenarnya even inilah yang ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Akan tetapi even hajatan tidak tersedia setiap saat sementara kebutuhan akan hiburan dibutuhkan setiap waktu, tidak bisa menunggu nanti kalau ada tetangga yang menggelar pesta pernikahan yang dimeriahkan dengan hiburan tabuh gamelan.

Solusi paling mudah untuk bisa mendapatkan hiburan menikmati merdunya klenengan dan juga wayangan adalah lewat radio yang saat itu masih menggunanakan teknologi transistor dan diaktifkan dengan tenaga batrei sel kering (dry cell). Jika orang tidak memiliki radio sendiri tinggal gabung ke tetangga sebelah yang memilikinya. Stasiun radio yang dituju pasti sama yaitu stasiun yang menayangkan klenengan karena semua orang seleranya sama, klenengan atau wayangan. Memang kala itu kawula muda dalam hal mencari hiburan mulai ada yang menyukai lagu-lagu pop dan musik dangdut. Untuk musik pop sudah pasti Koes Plus sedang untuk dangdut Rhoma Irama. Namun kalangan mudapun tetap menyukai klenengan dan wayangan.

Seiring berjalannya waktu, orang akan lebih puas jika bisa memiliki pesawat radiio sendiri sehingga tidak hanya nebeng mendengarkan milik tetangga. Sehingga mulailah orang beramai-ramai membeli pesawat radio agar bisa menikmati klenengan atau wayangan sepuasnya. Untuk mencapai tujuan tersebut orang rela menabung dengan menyisihkan hasil panen jeruk atau menjual jagung sisa yang dikonsumsi sendiri. Bahkan kadang orang rela menjual kambing piaraannya. Tak perlu sayang uang, yang penting bisa membeli sebuah pesawat radio. Dan juga tak perlu yang tipe spesifikasi tinggi yang penting berupa radio yang mengeluarkan gending-gending Jawa kesayangan. Itu sudah jadi barang teramat berharga yang layak dibanggakan. Waktu itupun memiliki pesawat radio bisa jadi salah satu indikator kesuksesan orang dalam bidang ekonomi. Memiliki radio, berarti sukses hidupnya, begitu kira-kira patokan untuk menilai orang. Bagi yang lebih tebal kantongnya, pesawat radio yang dibeli yang fungsi ganda, yaitu yang sekaligus pemutar pita (cassettes player) selain radio. Yang ini tentu jauh lebih mewah lagi dibanding radio biasa. Sehingga kalau tidak sabar menunggu siaran klenengan karena mungkin sedang ada siaran warta berita atau lagi ada siaran langsung peresmian waduk oleh Presiden Soeharto, maka orang bisa langsung memutar cassettes klenengan. Orang yang kaya memiliki banyak koleksi cassettes. Belum lagi yang bagi yang uangnya berlebih mereka juga melengkapi perangkat radionya dengan speaker active yang menurut istilah setempat disebut “salon”. Jadi radio yang dilengkapi dengan salon suaranya selain sangat kuat juga lebih memuaskan di telinga karena unsur treble, bass, dan aneka unsur musikal lainnya terdengar lebih nyaring.

Setelah jumlah uang yang dikumpulkan dirasa cukup orang segera bergegas ke pasar Karangpandan untuk membeli pesawat radio yang sudah lama diimpikan. Tidak jarang untuk mendapat pilihan barang yang lebih banyak orang rela pergi ke tempat yang lebih jauh yaitu Karanganyar atau bahkan kota Surakarta. Di kota yang lebih besar dari Karangpandan tentu ada toko-toko yang menjual pesawat radio dengan pilihan dan model yang makin bervariatif. Demikian pula dari sisi harganya. Banyak pilihan merk tersedia. Ada Sony, JCV, National, Toshiba dan lain-lain.

Ketika di rumah sudah ada sebuah pesawat radio maka rumah terasa lebih hidup karena setiap saat butuh hiburan tinggal menghidupkan radio. Maka merdunya musik klenengan akan mengalun sepanjang hari dan malam. Biasanya di akhir pekan ada beberapa stasiun radio yang menayangkan siaran langsung wayangan dengan dalang-dalang favorit seperti yang kondang masa itu Ki Mantep, Ki Anom Soeroto dan lain-lain. Itu dalang lokal, ada juga dalang yang level regional. Pokoknya setelah ada radio di rumah, suasana tidak ada lagi rasa kesepian. Hidup lebih bersemangat, serasa selalu ada pesta sepanjang masa. Tubuh yang letih setelah membanting tulang bekerja di ladang, tidak terasa. Bahkan setelah pekerjaan di luar kelar orang ingin cepat-cepat tiba di rumah untuk segera menikmati klenengan ataupun gening-gending Jawa dari radio kesayangan. Pengeluaran bertambah tak perlu dikeluhkan. Karena untuk menghidupkan radio perlu tenaga batrei atau Dry Cell. Sebuah radio transistor dua band dihidupkan dengan tiga atau empat buah Dry Cell ukuran A 1 sebesar genggaman tangan. (sebagai perbandingan, kalau yang biasa untuk jam dinding adalah ukuran AA). Kalau radio dihidupkan setiap hari Dry Cell bisa tahan selama seminggu. Jika radio jarang dihidupkan maka bisa tahan lebih lama.

Masalah yang jarang disadari saat membeli sebuah pesawat radio adalah orang sekedar beli tanpa perlu survei pendahuluan mengenai radio yang dibeli apakah tipenya sesuai yang ia butuhkan. Orang banyak yang mengira semakin mahal harga sebuah pesawat radio semakin canggih. Mayoritas orang Lereng Lawu membeli radio untuk tujuan mendapatkan hiburan, khususnya klenengan dan wayangan. Biasanya sebuah pesawat radio yang berharga mahal memiliki triple band, tiga band dan fungsi ganda sebagai pemutar pita atau cassettes player. Sebuah cassettes player menurut istilah lokal disebut “tape” atau “radio tape”. Perlu diinfokan, ada juga segelintir warga yang membeli radio untuk mendengarkan berita selain mendengarkan lagu pop. Dimana kala itu sudah mulai dikenal banyak radio asing yang menyiarkan dalam bahasa Indonesia sepreti Radio Australia, BBC, Radio Nederland dll. Tapi orang yang kelompok ini sangat langka. Karena mayoritas orang Lereng Lawu favoritnya adalah hiburan klenengan dan wayangan. Sedangkan sedikit di antara generasi mudanya fans Koesplus dan Rhoma Irama.

Pada masa itu kebanyakan stasiun radio sudah tahu selera para pendengarnya. Hampir semua stasiun radio radio swasta maupun stasiun radio pemerintah seperti RRI, yang terkenal RRI Nusantara1, Nusantara 2 dst yang menunjukkan rayon wilayah stasiun tersebut, dalam satu pekan selalu menyediakan slot untuk menanyakan hiburan klenengan dan wayangan di sela-sela menyiarkan kemajuan program pembanguan Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Setiap stasiun radio swasta wajib me-relay atau menyiarkan warta berita dari Stasiun Radio milik pemerintah yang disebut RRI. Hal ini sudah diatur secara sistematis oleh Depertemen Penerangan di bawah Menteri Penerangan Harmoko yang beken pada masa itu, dimana siaran radio nasional harus mensosialisasikan progrgram-program pemerintah selain memberikan hiburan kepada rakyat. Sepertinya sudah ada kesepakatan jadwal penayangan klenengan dan wayangan di antara sesama stasiun radio. Sehingga jarang terjadi bentrokan jadwal. Para pendengar di Lereng Lawu suka menghapal kapan jadwal tayang klenengan dan wayangan di setiap stasiun radio. Sehingga setiap orang bersiap menyambut hiburan kesukaan mereka. Pekerjaan harus diselesaikan tepat waktu agar tidak terlewat karena agar bisa mendengarkan radio dengan leluasa. Selain itu jika dry cell sudah lemah, biasahya suara radio jadi lemah, harus beli yang baru di warung tetangga meskipun harus ngutang jika sedang tidak ada uang. Pendek kata hiburan dari radio harus bisa dinikmati semaksimal mungkin dengan sergala cara.

Seperti dijelaskan di atas semua stasiun radio menayangkan hiburan klenengan dan wayangan. Tapi tidak setiap hari. Hanya pada hari tertentu dan jam tertentu, tidak setiap hari. Sehingga masyarakat pendengar harus pandai menghapal jadwalnya. Kalau hari ini ingin mendengar klenengan dan wayangan maka harus mengarahkan jarum radio ke stasiun tertentu. Sedangkan untuk besok harus ke stasiun lain lagi.

Tidak semua orang, terutama orang tua yang hapal jadwal penayangan hiburan kesayangan mereka. Untungnya masyarakat Lereng Lawu lama kelamaan mulai mengetahui ada sebuah stasiun radio yang manayangkan klenengan sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan. Ya klenengan non stop. Tentu saja hanya disela oleh penayangan warta berita dari RRI yang sehari bisa beberapa kali dalam sehari dan iklan aneka produk dan jasa. Stasiun radio tersebut bernama “Konser Vactory” atau terkenalnya Radio Konser yang studionya berlokasi di kota Surakarta atau kota Solo. Rupanya manajemen Radio Konser sangat brilian dalam membidik ceruk pasar dalam bisnis siaran radio swasta, dengan memilih materi tayangan hanya berupa klenengan, wayangan dan langgam Jawa, seni yang digemari oleh masyarakat Surakarta dan sekitar, termasuk masyarakat yang menghuni kawasan Lereng Lawu. Tak ada tayangan lagu pop seperti di kebanyakan stasiun radio tetangganya seperti Radio PTPN, Radio ABC, Radio Emmanuel. Para penyiarpun menyampaikan pengantar siaran dalam bahasa Jawa. Setiap orang Lereng Lawu tua maupun muda pria dan wanita pasti mengenal nama stasiun radio satu ini. Barang kali Radio Konser adalah satu-satunya stasiun radio yang paling banyak dipantau oleh pendengar di kawasan Lereng Lawu. Saking terkenalnya orang tuapun yang biasanya gaptek tapi bisa tahu ke angka mana membidikkan jarum pencari frequency (istlahnya TUNING) stasiun radio jika mereka ingin mendengarkan stasiun Radio Konser. Jadi jangan heran jika suatu hari Anda berkunjung ke rumah siapapun di area Lereng Lawu Anda pasti akan mendapati tuan rumah sedang mendengarkan Stasiun Radio Konser atau wayangan atau terkadang Langgam Jawa dengan biduanita beken asal Surakarta bernama Waljinah.

Akan tetapi masalah tidak berhenti sampai di situ. Memang kini orang Lereng Lawu sudah menemukan stasiun radio yang menayangkan klenengan dan wayangan sepanjang waktu tanpa henti. Namanya Radio Konser. Sekarang yang menjadi penghalang untuk mendengarkan Radio Konser adalah tidak semua pesawat radio yang dimiliki warga Lereng Lawu memiliki band MW atau Medium Wave. Pemilik pesawat radio yang tidak dilengkapi band MW jika mendengarkan Radio Konser terpaksa harus gigit jari. Semua radio waktu itu mengudara di dua type gelombang, yaitu SW (Short Wave) atau gelombang pendek jalur yang biasanya dipakai oleh stasiun radio berjangkauan jauh termasuk radio siaran luar negeri dan jalur MW yang dipakai untuk memancarkan siaran oleh stasiun-stasiun radio lokal termasuk Radio Konser Faktori Surakarta dalam melayani para pendengarnya. Sedangkan band FM (Frequency Modulation) dan AM (Amplitude Modulation) sebagaimana yang kita kenal sekarang belum ditemukan pada kala itu. Jangan bandingkan dengan teknologi digital jaman sekarang, dimana kualitas siaran radio bisa ditangkap dengan sempurna.

Jadi meskipun sudah memiliki pesawat radio, bagi msyarakat Lereng Lawu ini jika pesawat radio yang mereka miliki tidak terdapat band MW mereka tidak bisa mendengarkan Radio Konser, stasiun kesayangan yang menayangkan klenengan sepanjang waktu. Masalah ini berawal saat membeli radio di toko mereka tidak melakukan survei terlebih dahulu, itulah letak kesalahannya. Mereka asal membeli. Di toko saat barang dicoba radio tersebut bisa menghasilkan suara yang jernih dan merdu, mereka langgsung transaksi. Orang asal beli dan tidak menyadari bahwa jenis radio ini bukan tipe yang ia butuhkan. Biasanya orang baru sadar setelah sampai di rumah pesawat radio yang baru saja dibeli tidak bisa untuk menangkap siaran Radio Konser Surakarta. Bagi yang pesawat radio doble fungsi dengan cassettes player mereka bisa memuaskan diri dengan memutar cassettes. Bahkan untuk jenis ini orang bisa mendapatkan hiburan lebih leluasa memilih hiburan yang dikehendaki. Mau mendengarkan klenengan tinggal masukkan casettes klengengan, mau wayangan tinggal ambil casettes wayangan. Dan seterusnya. Tapi sayangnya teknologi pemutar casettes tidak dirancang untuk tahan dalam durasi yang lama. Jika dipake memutar casettes sepanjang hari dan sepanjang malam maka head cepat aus. Selain setiap 30 menit casettes harus di balik ke halam sebaliknya. Durasi casettes biasanya 30 dan 40 menit. Pemutar casettes yang lebih canggih memang bisa membalik secara otomatis.

Jadi pemutar casettes bukan solusi bagi pesawat radio yang tidak memiliki band MW jika ingin mendapatkan hiburan klenengan. Selain juga pemutar casettes berharga jauh lebih mahal dari radio biasa, pemilik juga dituntut memiliki koleksi casettes yang komplet agar tidak lekas bosan. Untungnya juga segera ditemukan solusi jitu bagi pemilik pesawat radio non MW untuk bisa menangkap siaran Radio Konser Surakarta. Caranya adalah, bagi pesawat radio tanpa MW bisa dimodifikasi dengan penambahan band MW. Tentunya dengan cara overlap pada penunjuk frequency yang sudah ada, bawaan dari pabrik. Modifikasi ini bukanlah pekerjaan yang sulit bagi teknisi elektronik atau istilahnya montir radio. Dan waktu pengerjaannyapun tidak butuh waktu lama. Di samping itu, tidak harus teknisi senior yang bisa melakukan perkerjaan modifikasi ini. Waktu yang dibutuhkanpun juga tidak lama. Cukup sepuluh atau dua piluh menit bisa selesai atau bisa ditunggui, radio yang semula tidak bisa menangkap siaran Konser akhirnya bisa setelah modifiksi. Penemuan ini segera tersebar luas. Para pemilik radio non-MW berbondong-bondong membawa radio miliknya ke bengkel-bengkel elektronik yang di beberapa tempat agar bisa dipakai menangkap siaran Radio Konser. Ada bengkel Syam Soetarto di Dusun Nglorog, Bengkel Sugiman di Pasar Karangpandan. Konon juga ada di Kemuning. Tak pelak lagi bengkel-bengkel ini segera kebanjiran order.

Warga masyarakat pemilik radiopun gembira akhirnya pesawat radio mereka bisa juga menangkap siaran Radio Konser Faktori. Mereka mengungkapkan kegembiraanya dengan bercerita kepada setiap orang yang ditemui. Tetangga, kerabat, semuanya bersuka cita. Banyak ujaran yang terdengar yang seharusnya hendak mengatakan “Radioku sekarang sudah dikonserkan” yang maknanya sekarang radio sudah dimodifikasi agar bisa menangkap stasiun Radio Konser akan tetapi mereka mengucapkannya “dikoserkan” tanpa huruf ‘n’. Kata konser adalah istilah asing yang kira-kira berarti pagelaran atau kontes musikal. Kata ini yang dipilih untuk menamai stasiun radio di kota Surakarta sesuai dengan materi siarannya yang menayangkan pagelaran gending dan kesenian Jawa sepanjang waktu. Namun bagi warga Lereng Lawu terutama yang awam serta generasi tua tidak mudah untuk membedakan antara kata “Konser” dan “koser” karena kata yang kedua inilah yang ada dalam kosa kata mereka. Dalam logat bahasa Jawa oleh para penutur di kawasan Lereng Lawu, kata “koser” berarti cocol. Mengkoserkan berarti mencocolkan, seperti halnya untuk mengungkapkan mencocolkan sepotong tempe pada saus atau sambal. Sehingga betapa lucu dan konyolnya orang yang berujar “Radioku sekarang sudah dikoserkan”. Namun orang-orang yang sedang bergembira karena sekarang radio miliknya bisa menayangkan klenengan secara non stop dari stasiun Radio Konser itu tidak peduli dengan guyonan atas perkataan yang mereka ucapkan. Jika dipikir kekonyolan yang mereka buat sungguh nyata karena dengan modifikasi yang terjadi pada pesawat radio yang mereka miliki hasilnya tidak hanya jadi bisa menangkap siaran Radio Konser saja. Tetapi juga bisa menangkap semua siaran stasiun radio di wilayah Surakarta yang memancarkan di jalur MW seperti Radio PTPN, Radio ABC, Radio Emanuel dan seterusnya.

Sampai tahun 2021 penulis tidak mengetahui apakah stasiun Radio Konser dan stasiun-stasiun lain masih eksis dan terus mengudara karena penulis tidak tinggal di kawasan Lereng Lawu lagi. Dan mengingat kini jaman sudah berubah bisa jadi keberadaan mereka sudah tidak diperlukan lagi. Seandainya pun Radio Konser sekarang sudah tidak mengudara tetapi fenomena guyonan seperti diuraikan di atas masih ada dan masih terus diperlukan keberadaannya. Karena pada hakekatnya manusia tidak pernah bisa lepas dari guyonan. Maka ada plesetan « Cogito Ergo Sum » yang berarti saya berpikir maka saya ada, menjadi Aku Guyon, maka aku ada. (Maksum)

more recommended stories