Pengantar
Pertengahan April 2016 lalu kontributor sukuh.com berkunjung ke Kuala Lumpur dan bertemu pemuda perantau asal Lereng Lawu. Berikut ini bisa Anda simak bagaimana kisah suka-dukanya hidup di negeri orang secara lengkap.
—————————-
Bagi para pemuda dari Lereng Barat Gunung Lawu atau lebih detailnya Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso sebelah barat situs Candi Sukuh ini merantau mencari nafkah ke luar daerah, —apa lagi ke negeri jiran—, bukanlah cita-cita yang diidamkan tatkala masih usia kanak-kanak. Bagaimana juga hidup, bekerja, dan berkarya di kampung halaman sendiri adalah lebih menenangkan hati dan pikiran. Karena inilah hikmah tinggal dan berkumpul dengan sanak saudaranya.
Namun ketika mendapati di kampung halamannya tidak banyak pilihan profesi yang tersedia. Sedikit pilihan lapangan kerja, minimnya tantangan. Maka merantau ke luar daerah, apalagi ke negeri jiran Malaysia merupakan kesempatan yang sangat menarik untuk tidak dilewatkan di saat usianya yang masih muda belia.
Karena alasan inilah membuat Sularto akhirnya memilih untuk meninggalkan orangtua, kakak dan adik serta sawah dan kebun. Keinginan untuk merantau semakin besar ketika ia melihat beberapa teman sepermainannya juga pergi ke berbagai kota. Namun kalau hanya Jakarta atau kota-kota lain di dalam negeri ia kurang puas sehingga Sularto memutuskan merantau ke Kuala Lumpur, ibu kota negeri jiran Malaysia.
Tekatnya sudah bulat: “Anak-anak muda dari Dusun Pabongan mulai kurang tertarik lagi berkebun menanam wortel atau sayuran lainnya ataupun cari kayu ke gunung Lawu. Kami selalu beranggapan kalau menjadi petani di jaman sekarang ini kurang bergengsi. Kebanyakan orang Pabongan juga menganggap hebat ketika melihat orang-orang yang kerja di kota,” begitu jelasnya. Seolah mencoba berargumen.
Inilah kisah kehidupan yang dijalani oleh seorang pemuda asal Dusun Pabongan, di Lereng Barat Gunung Lawu Candi Sukuh. Meskipun orang tuanya memberikan nama Sularto namun dia lebih dikenal dengan nama panggilan Jeboh. Tak jelas apa artinya. Yang pasti si Jeboh yang tamatan SMA ini sudah tinggal di Kuala Lumpur sejak tahun 2002.
Berbekal Ijazah SMA
Meskipun hanya berbekal ijazah SMA dengan ditambah pendidikan berbagai kursus ketrampilan Sularto tetap memberanikan diri mencari berbagai informasi untuk merantau dan mencari kerja di Malaysia. Kenapa Malaysia? Karena iklim Malaysia tidak berbeda dengan Indonesia. Dari segi komunikasi tidak ada hambatan yang berarti. Karena bahasa melayu memiliki banyak kemiripan dengan bahasa kita. Selain itu di sana juga banyak perantau Indonesia yang bekerja sebagai TKI. Singkatnya, meskipun hidup di luar negeri tapi serasa di negeri sendiri.
Sularto termasuk pemuda yang beruntung. Ketika banyak pelamar kerja yang gagal, tapi anak ke lima pasangan Kariyo Diyono ini akhirnya diterima kerja di sebuah perusahaan konstruksi jaringan transportasi kereta api. Setelah mengawali karir sebagai pekerja konstruksi dengan gaji awal RM 2600 per bulan kini ia menduduki posisi sebagai Quality Assurance. Jabatan dengan tanggung jawab yang lumayan penting mengingat hanya tamatan SMA. Dengan tanggung jawab yang diembannya ini ia harus memastikan sejumlah anak buahnya agar menjalankan fungsinya sesuai dengan Standard Operational Procedures. Dan setelah sekian tahun bekerja di perusahaan tersebut sekarang ia dianugerahi setatus pekerja tetap dengan hanya perlu melakukan cap paspor setiap tahun sebagai working permits.
Kerja sampingan juga
Pemuda yang sekarang sudah memasuki usia 39 tahun ini tidak mudah puas dengan penghasilan yang sudah didapatnya. Meskipun jam kerjanya cukup padat Sularto masih sempat mencari penghasilan tambahan dengan cara jualan online, salah satu cara berdagang yang lagi nge-trend. Di dunia maya ia memasarkan busana muslimah. Dengan sumber penghasilan ganda, Sularto bisa menyisihkan uang untuk dikirim ke keluarganya di kampung.
Ketika ditanya apa saja susahnya selama hidup di Malaysia ia menjawab bahwa yang membuat ia susah adalah hidup jauh dari anak isterinya. Sebenarnya Sularto pernah mengajak sang isteri yang asal Sragen dan anaknya yang berumur lima tahun tinggal bersama di Kuala Lumpur. Untuk keperluan tersebut ia menyewa per tahun sebuah rumah kecil yang layak untuk tinggal sebuah keluarga. Tetapi ketika si anak yang menginjak usia sekolah Sularto terpaksa memulangkan anak dan isterinya ke Indonesia. Pasalnya karena si anak berstatus sebagai WNI menjadi sulit masuk ke sekolah-sekolah Malaysia. Kini setelah tanpa anak dan isteri Sularto kembali menghuni mess.
Tetap Setia Kampung Halaman
Ibarat kacang ia tidak lupa kulitnya. Meskipun si Jeboh kini hidup nyaman di salah satu kawasan metropolitan Kuala Lumpur yang gemerlapan namun ia tidak pernah melupakan kampung halaman. Setiap tahun ia selalu menyemtpatkan ambil cuti satu kali untuk pulang kampung. Kadang juga dua kali, tergantung keperluan. Momen ini dimanfaatkan untuk melepas rindu dengan orang tua dan sanak saudaranya. Ketika ditanya apa berkeinginan menetap di Malaysia, ia menepisnya. “Tidak, suatu hari saya akan pulang ke Indonesia. Saya mau buka usaha” katanya dengan serius.
Mungkin yang ada dalam benak pikirannya, Sularto ingin seperti kebanyakan orang yang bekerja di luar negeri. Hidup dan bekerja di luar negeri hanyalah untuk sementara waktu. Jika dirasa sudah cukup terkumpul modal dan pengalaman, para pekerja migran akan pulang ke negara asalnya untuk merintis usaha sendiri sekalian memajukan kampung halamannya dengan modal dan pengalaman yang didapat dari luar negeri.
Jeboh bukanlah satu-satunya pemuda asal Lereng Lawu yang merantau ke luar daerah untuk bekerja mencari rezeki. Menurut data statistik ada puluhan pemuda dari Lereng Lawu dan sekitar yang merantau ke berbagai tempat baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk wanita banyak di antaranya yang bekerja sebagai PRT. Sedangkan para pemudanya bekerja di berbagai sektor. Mulai dari konstruksi, pertambangan, perniagaan, perkebunan, dll.
Teladan bagi para pemuda
Sosok Sularto Jeboh merupakan representasi dari banyak pemuda Lereng Lawu lainnya. Dia sudah mampu membuktikan bahwa para pemuda di daerah ini adalah insan-insan yang ulet dan tidak mengenal istilah menyerah. Begitu melihat kawasan tempat tinggalnya belum mampu menampung aktualisasi diri mereka untuk maju dan berkembang, Si Jeboh asal Dusun Pabongan dan banyak Jeboh lainnya tidak pernah kehabisan akal. Mereka tidak takut untuk menyongsong kesempatan bekerja ke luar daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Sularto Jeboh dan banyak teman segenerasinya layak jadi tauladan bagi para pemuda di tempat-tempat lain dalam menumbuhkan semangat dan menyongsong masa depan.
——————-
Pewawancara dan penulis: M. Ma’sum (mohammad.maksum@mail.ru)