Suhadi, Perintis Dakwah Islam di Karanganyar Timur

Lereng Gunung Lawu bagian barat, di sepanjang tahun 1960-an hingga pertengahan 1970-an sebuah potret wilayah yang masih kental dengan tradisi dan budaya Jawa lama yang cenderung sinkretik dan klenik.

Banyak kepercayaan yang oleh penduduk setempat dihidup-hidupkan dan dipelihara.

Mereka juga dikurung oleh keterbelakangan, wilayahnya terasing dan jarang mendapatkan akses kemajuan.

Migrasi penduduk juga terbatas, orang dari luar daerah yang mencoba masuk di kawasan tersebut juga sangat sedikit.

Di salah satu dusun di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, hiduplah seorang Kepala Dusun bernama Martoijoyo. Sebagai kepala Dusun Pabongan ia sudah barang tentu memiliki sedikit pengaruh.

Sebagai kepala Dusun atau lurah ia cukup dihormati. Di lain sisi ia juga memiliki pengetahuan agama (Islam) meski mungkin tidak terlalu mumpuni. Namun ia pernah membangun masjid di belakang rumahnya.

Kemudian masjid ini pada suatu masa berikutnya dipindah ke bagian timur rumahnya yang posisi tanahnya lebih tinggi dari rumahnya.

Martoijoyo memiliki beberapa anak dan beberapa diantaranya adalah perempuan. Pada suatu waktu di dekade awal 1960-an datang seorang pemuda yang hendak mempersunting salah satu anak perempuannya. Laki-laki itu bernama Suhadi.

Pada akhirnya Suhadi yang asal Kabupaten Sragen Jawa Tengah itu benar-benar jadi menantu Martoijoyo.

Martoijoyo rupanya punya kehendak untuk mewariskan pengelolaan masjid itu kepada beberapa anaknya, menantunya, dan beberapa orang selain anak-anaknya atau orang di luar keluarganya. Namun tidak ada yang bersedia menerima amanah tersebut.

Kemudian ia mencoba menawarkannya ke menantunya yang baru itu. Suhadi bersedia menerima amanah itu.

Pengelolaan masjid tersebut akhirnya berhasil diserahkan kepada Suhadi sebelum Martoijoyo berpulang sekitar tahun 1973.

Masjid Jami Pabongan bangunan lama dan bangunan madrasah yang sempat difungsikan sebagai warung

Sebagai “hadiah” atas kesediaan itu Martoijoyo juga menghibahkan tanah di utara masjid dan di selatan masjid kepada istri Suhadi, tentu sebagai bekal untuk membangun penghidupan sebagai keluarga baru.

Tak lama kemudian tanah yang berada di sebelah selatan masjid dibangun rumah sederhana.

Memulai kehidupan baru di Desa Pabongan pada masa itu tentu bukan perkara mudah. Keterbelakangan masyarakat dan terbatasnya akses membuat kemiskinan di wilayah itu makin sempurna.

Sambil membenahi cara-cara berdakwah, menyelenggarakan pengajian, mengajak warga dan penduduk di sekitarnya untuk menjalankan ibadah dan mengenalkan ajaran Islam, Suhadi juga membangun ekonomi keluarganya.

Pada suatu waktu ia mencoba berjualan. Warung tempat jualannya dibuka dengan memamanfaatkan bangunan kosong yang terletak di kompleks yang sama dengan masjid. Bangunan ini sebelumnya pernah berfungsi sebagai semacam madrasah.

Namun seiring dengan semakin berkembangnya warung, Suhadi membangun rumah kecil di pekarangan miliknya dan warung itupun pindah akhirnya.

warung di Dusun Nglorog, kelak di belakang warung dibangun masjid

Sambil mengelola warung, ia bertanam jeruk, dakwah pun jalan terus. Pemuda dan warga perempuan yang masih muda-muda mulai diajar mengaji, belajar ibadah, belajar beramar makruf. Jumlahnya makin lama makin banyak.Jamaah yang kebanyakan berusia muda itu diajari membaca tulis huruf arab, diajari tajwid, diajari nahwu shorof, diajari bahasa arab, diajari menjadi pendakwah.

Lambat laun para jamaah masjid diberi pemahaman bahwa kebiasaan dan tradisi lama yang ada di daerah tersebut itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Maka mereka diajak untuk meninggalkanya.

Jalan dakwah Suhadi bukannya lempang dan mudah. Justru hampir sepanjang sejarah dakwahnya adalah jalan terjal dan berliku.

Pada awalnya apa yang diajarkan tentu saja ditentang oleh penduduk di situ yang selama ini telah menjalankan kebiasaan lama. Kemudian ketika sebagian besar masyarakat sudah mulai memilih dan melakukan jalan yang sesuai ajaran Islam, Suhadi memberi pemahaman yang lebih mendekati dengan yang dicontohkan Rosulullah, kadang disini bertentangan dengan pemahaman kelompok penganut Islam yang lain, maka penentangan pun muncul kembali.

Otoritas kekuasaan juga pernah menjadi “musuh” Suhadi. Diceritakan oleh salah satu murid Suhadi, seorang Lurah atau kepala Dusun Pabongan pernah melaporkan Suhadi ke kepolisian hanya karena Suhadi melarang murid-muridnya memakan makanan haram di tempat pesta pernikahan warga di dusun tersebut. Juga karena Suhadi melarang jamaahnya untuk melakukan ritual memuja punden (tempat yang dikeramatkan, seperti pohon beringin atau sumber mata air).

Masjid Jami’ Pabongan saat ini

Selain melaporkan ke kepolisian, sang lurah juga mengancam akan mencederai apabila aktivitas Suhadi tidak dihentikan. Tak ciut nyali, Suhadi bersama puluhan jamaahnya mendatangi lurah tersebut yang kebetulan dimediasi oleh pihak kepolisian.

Kasus ini berakhir damai dimana pihak lurah berjanji tidak akan mengganggu kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Suhadi dan jamaahnya.

Tahun 1977 dan 1982 adalah tahun politik. Pemilihan umum saat itu juga ikut menyeret Suhadi kepada konflik politik.

Partai penguasa saat itu yakni Partai Golongan Karya tergiur oleh pengaruh Suhadi di dusun Pabongan itu. Dengan berbagai daya upaya mencoba merebut simpati dan pengaruhnya.

Tahun 1982 misalnya, partai yang berkuasa (Partai Golkar) membentuk organisasi sayap bernama Majelis Dakwah Islamiyah (MDI). Suhadi dipengaruhi untuk bergabung di dalamnya dengan harapan ia dan jamaahnya akan memberikan dukungan suara kepada Partai Golkar.

Bangunan Masjid Jami’ Pabongan yang baru

Apa yang dilakukan tokoh-tokoh Golkar Berjo ini cukup beralasan karena pada tahun 1977 dusun Pabongan suara untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hampir mengalahkan suara Partai Golkar. Meski Suhadi tidak pernah sekalipun mendeklarasikan mendukung PPP atau jadi kader atau bahkan pengurus PPP.

Pengurus Golkar di Berjo memberikan jaket MDI kepada Suhadi. Suhadi memang memakai jaket tersebut. Pada sebuah acara kampanye di lapangan Desa Berjo di Dusun Tagung, Suhadi juga sempat hadir. Namun apakah ia dan jamaahnya memberikan suaranya ke Partai Golkar? Waallahu ‘alam. Beruntung saat itu ada jargon pemilu di Indonesia sebagai LUBER (Langsung Umum Bebas dan Rahasia).

Suhadi meski secara formal hanya lulus Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Namun ia cukup tinggi semangat belajarnya.

Berguru kepada beberapa ulama dengan sangat tekun dan patuh kepada gurunya. Ketika gurunya hijrah ke Pulau Sulawesi, ia juga ikut hijrah.

Salah satu buku yang disusun oleh Suhadi

Setelah itu ia belajar secara otodidak. Setelah menetap di Dusun Pabongan ia mengembangkan penguasaan ilmunya sambil mengajar murid-muridnya. Ia berhasil menulis banyak buku. Meski tanpa standar penulisan buku namun buku-buku karyanya sempat dicetak dan akan menjadi bukti sejarah dakwahnya selama ini.

Di sela-sela melayani pembeli di warungnya Suhadi tak segan belajar membaca “kitab kuning” dan buku-bukunya pun banyak yang ditulis dengan cara seperti ini.

Ketika tahun 1995-an komputer PC mulai tersedia masal, anak-anaknya sempat membelikan satu unit komputer pada tahun 2005.

Ia pun sempat mengetik naskah bukunya dengan komputer itu. Meski instan ia sempat belajar menggunakan komputer. Sebelumnya semua bukunya ditulis tangan dan kemudian diketik dengan mesin ketik manual oleh pekerja percetakan.

Tahun 1977 ia pernah membeli sebuah pesawat radio. Dengan radio itu Suhadi mendapat saluran untuk mengakses informasi dari luar.

Kala itu ia rajin mendengarkan siaran radio dari stasiun ABC (Australia), BBC London, dan Voice of America yang kesemuanya siaran berbahasa Indonesia. Meski demikian ia pernah mengikti kursus Bahasa Inggris melalui Seksi Bahasa Indonesia siaran Radio Australia (ABC).

Setelah usaha jualan di warungnya berjalan beberapa lama, bangunan warung tersebut dipindah ke pekarangan di sebelah selatan masjid. Mungkin maksudnya agar masjid bisa mendapatkan halaman yang lebih luas dan kegiatan peribadatan bisa lebih leluasa.

Suhadi mengetik salah satu naskah bukunya dengan Personal Computer (PC) di suatu pagi tahun 2006

Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya Suhadi sempat membuka toko buku di Kota Karangpandan. Tepatnya di pinggir Jalan Lawu, sebelah selatan rumah dinas pembantu bupati (Wedana) —struktur ini sekarang sudah tidak ada di sistem pemerintahan Indonesia.

Di toko yang diberi nama “Tlaten” tersebut dijual buku-buku pelajaran SD, SMP, SMA dan buku-buku umum. Namun, rupanya usaha buka toko buku ini tidak cukup menguntungkan, sehingga tak begitu lama toko buku ini tutup.

Tahun 1979 Suhadi membeli tanah di Dukuh Nglorog. Di sini kemudian dibangun warung dan memulai berjualan. Sejak itu dakwah Suhadi tidak hanya di lingkungan Dusun Pabongan saja. Tiap minggu ia juga menjadi pengajar di Boyolali. Meski pengajian rutin di Masjid Dusun Pabongan juga tetap dilakukan secara rutin. Di bagian belakang tanah ini selanjutnya juga dibangun sebuah masjid.

Pada dekade 1990-an radio komunikasi handy talky mulai populer. Suhadi juga mulai menggunakan perangkat komunikasi radio gelombang pendek tersebut untuk dakwahnya. Dua kali dalam satu minggu, Suhadi mengadakan siaran pengajian pada pukul 05.30 sampai 06.30 pagi.

Peserta atau pendengarnya cukup banyak dan tersebar di wilayah-wilayah sekitar Kabupaten Karangnyar. Seperti kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kota Surakarta dan wilayah Kabupaten Ngawi bagian Selatan. Pengajian melalui handy talky ini berakhir di tahun 2009-an.

Hingga tahun 1983 di Kecamatan Ngargoyoso bagian Tenggara, praktis hanya ada satu masjid, yakni masjid yang ada di dusun Pabongan tersebut. Selain itu ada satu masjid lagi di ibukota Kecamatan Ngargoyoso. Baru setelah itu, di sebelah barat Kantor Desa Berjo didirikan Masjid yang diberi nama Al Huda. Pendirian masjid Berjo ini didanai oleh seorang pengusaha di Jakarta yang berasal dari dusun Ngadioro.

Setelah itu pada tahun 1990-an banyak berdiri masjid di lereng Gunung Lawu bagian Barat itu. Ada masjid di dusun Selorejo, Dusun Nggandu, ada yang dibangun di Selatan candi Sukuh, ada di Dusun Berjo. Bahkan di dekat Masjid Pabongan sendiri telah berdiri dua buah masjid. Masjid yang dikelola Suhadi belakangan diberi nama Masjid Jami’ Pabongan. Masjid ‘kuno’ ini telah direnovasi menjadi bangunan baru pada tahun 1993.

Tahun 1998-1999 di Indonesia diingat banyak orang sebagai tahun-tahun pergolakan yang genting. Saat itu kekuasaan orde baru yang otoriter tumbang. Saat transisi tersebut banyak kekacauan.

Kerusuhan sosial sering muncul di berbagai daerah. Kawasan lereng barat Gunung Lawu relatif ‘aman’ dan kondusif. Namun isu dukun santet dan ancaman pembunuhan terhadap ulama yang ramai saat itu juga sempat berhembus ke kawasan ini. Isu-isu akan adanya pembunuhan ulama dan kyai sempat membuat cemas warga di sini. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa.

Saat ini di kawasan barat Gunung Lawu juga sudah banyak bermunculan pesantren-pesantren. Banyak kelompok-kelompok pengajian bermunculan di kawasan ini.

Pesawat handy talky yang pernah dipakai pengajian

Masyarakat di kawasan ini juga telah berubah menjadi cukup relijius. Kondisi yang sangat kontras dibanding situasi saat Suhadi memulai dakwahnya di kawasan ini. Suhadi berhasil mengkader murid-murid dan tetap konsisten hingga saat ini.

Ia telah menjadi peletak dasar dari dakwah Islam di kawasan ini. jalan terjal dan berliku telah ia lalui. Dari tahun 1960-an ia “babat alas” bagi dakwah Islam di Karanganyar Timur. Suhadi tetap kukuh untuk tidak berafiliasi dengan kelompok-kelompok aliran yang ada dan muncul di kawasan itu.

Sebenarnya pada kurun waktu yang sama di daerah tersebut juga bermunculan da’i-da’i muda yang memiliki banyak pengikut. Namun apa yang dakwah yang dilakukan Suhadi berhasil mengubah perilaku masyarakat Dusun Pabongan. Sebelum Suhadi memulai dakwah berbagai praktek syirik di kawasan Lereng Lawu sangat subur. Hari ini praktek kesyirikan seperti membakar kemenyan dalam berbagai upacara hampir tidak pernah dijumpai. Begitu suburnya praktek-praktek jahiliyah tersebut sehingga membuat tradisi yang sangat sulit dibasmi. Namun berkat kesabaran Suhadi berbagai praktek jahiliyah tersebut berhasil dibasmi setelah melewati kurun waktu yang cukup lama.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hilangnya berbagai praktek kesyirikan di Lereng Barat Gunung Lawu merupakan warisan terbesar yang ditinggalkan Suhadi. Hari ini bisa disaksikan paham tauhid, yakni meng-esakan Tuhan berdiri kokoh di kawasan ini.

Suhadi berpulang pada tanggal 16 Agustus 2020. Sejarah dakwahnya terbentang panjang dan luas di lereng barat Gunung Lawu.

Naskah: avicenia

Editor: Maksum

Foto : dari berbagai sumber

more recommended stories