Sejalan dengan bergulirnya kebijakan Otonomi Daerah yang dalam intinya memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah Daerah, baik dalam mengurusi pemerintahan daerahnya maupun mendayagunakan potensi ekonomis yang dimiliki masing-masing daerah, perlu didukung suatu. strategi pengembangan yang mengarah pemberdayaan dan pemanfaatan potensi dan peluang yang dimiliki daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) potensi inti yang terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia, yaitu : Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Budaya (SDB).
Sampai saat ini orientasi pemanfaatan sumber daya dalam di suatu daerah selalu terfokus pada eksploitasi bahan tambang (minyak dan gas), hasi hutan (kayu gelondongan) dan lain sebagainya, yang kesemuanya terkadang menimbulkan dampak ikutan yang sangat mengkhawatirkan (seperti polusi dan daya dukung lahan), sementara di satu sisi masyarakat lokal juga sering tidak menikmati hasil eksploitasi tersebut.
Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah “agroculture’’, yang dalam hal ini meliputi pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Potensi ini merupakan hasil pengolahan sumber daya alam oleh manusia secara berkelanjutan, dengan tujuan untuk mendapatkan pendapatan dari penjualan hasil pengolahan atau pembiakannya.
Potensi agroculture tersebut sebenamya masih dapat dioptimalkan nilai tambahnya, yaitu melalui kegiatan pariwisata. Selain itu. dengan memanfaatkan pariwisata sebagai lahan pasar baru juga diharapkan mampu menjadi pendorong bagi kelestarian lingkungan dan penciptaan kesempatan kerja serta pemerataan pendapatan bagi penduduk lokal.
Pemanfaatan agrocilture dalam kegiatan pariwisata dapat dilihat dari sisi pendekatan penawaran (supply side), yang penekanannya lebih dan hanya sekedar menjual paket wisata atau memperoleh pendapatan dari penjualan tiket dan paket semata.
Upaya mencermati peluang pemanfaatan potensi agroculture untuk pariwisata, dapat dilihat terlebih dahulu dari mata rantai serta komponenkomponen pembelanjaan wisatawan, yang pada kenyataannya akan memiuliki rantai keterkaitan yang sangat luas dengan sektor maupun kegiatan-kegiatan yang dalam hal ini dapat berbentuk keterkaitan langsung maupun ikutan.
Dampak Pengganda Pembelanjaan Wisatawan pada Sektor Agroculture
Secara umum pembelanyaan wisatawan terbagi kedalam 7 (tujuh) komponen, meliputi: akomodasi, souvenir, makan-minum, transport lokal, sightseeing dan hiburan, paket tur/guide, kecantikan/kebugaran dan lain-lain.
Diagram diatas menunjukkan dampak langsung (direct effects) pembelanjaan Wisatawan terhadap usaha/perekonomian lokal. Namun apabila dicermati dan ditank lebih jauh lagi kedalam suatu mata rantai keterkaitan industri, maka dampak tersebut akan menjadi lebih besar lagi, serta menyentuh lebih banyak sektor/usaha, termasuk agroculture.
Sebagai contoh, usaha akomodasi (hotel, losmen, dll) akan membutuhkan materi-materi untuk mengisi interiornya, misalnya furniture. Materi ini akan diperoleh pengelola hotel dari para pengrajin furniture, dimana dalam pembuatannya pengrajin akan membutuhkan bahan baku kayu, baik yang diperoleh dari pengusaha kayu maupun langsung kepada Perhutani. Apabila disimak, contoh tersebut menggambarkan suatu mata rantai pemenuhan kebutuhan akomodasi, yang didalamnya melibatkan berbagai sektor/usaha, meliputi industri permebelan dan sektor kehutanan.
Contoh lain adalah pemenuhan terhadap kebutuhan makan minum (/ood aud bararage) untuk wisatawan, didalamnya akan = mclibatkan usaha restoran/catenng/jasa boga lainnya yang dalam penyiapan sajiannya membutuhkan bahan-bahan makanan, seperti savuran, buah-buahan, dading dan telur, dan lainnya. Bahan-bahan tersebut diperolch dan para pedagang yang mengambilnyva dan para pengelola perkebunan, peternak maupun petani.
Peluang-peluang lainnya yang dapat tumbuh dalam keterkaitannya dengan usaha pariwisata meliputi, industri produk-produk olahan, seperti nanas kalengan, manisan buah, nata de coco (air kelapa), dan lainnya.
Besarnya pendapatan/nilai tambah yang diperolch usaha/sektor yang terkait dengan pariwisata seperti tersebut diatas akan meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas kegiatan pariwisata di daerah yang bersangkutan.
Keterkaitan (mata rantai) pemenuhan kebutuhan usaha pariwisata pada akhirnya menumbuhkan peluang-peluang usaha baru, khususnya yang terkait dengan agroculture, baik dalam melalui kegiatan pemasokan bahan baku maupun pembuatan produk.
Permasalahan Pengembangan Sektor Agroculture dalam Pariwisata
Salah satu permasalahan mendasar pengembangan sektor agroculture dalam menunjang usaha pariwisata adalah, ketergantungannya terhadap musim (alam), dan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap faktor luar, seperti hama, penyakit, dan cuaca.
Namun demikian disamping permasalahan utama tersebut, terdapat pula permasalahan lain, meliputi :
1. Infrastruktur (jalan) dan alat-alat transportasi, hal int disebabkan mayoritas lokasi kegiatan sektor ini berada di desa/ daerah terpencil, seperti pegunungan dan lembah.
2. Teknologi pasca panen yang masih sangat sederhana, dan terkadang kurang memenuhi syarat higienitas.
3. Penyimpanan (storage) hasil panenan yang masih sangat terbatas.
4. Pemahanan yang masih rendah mengenai usaha pariwisata, sehingga menimbulkan permasalahan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produk.
5. Keterbatasan akses informasi dan pemasaran ke konsumen yang bergerak di usaha pariwisata.
Peluang Kemitraan Usaha Pariwisata – Agroculture
Dalam perkembangannya, kegiatan pariwisata telah menumbuhkan berbagai bentuk peluang usaha, baik yang timbul dari adanya dampak langsung (direct effects), dampak tak langsung (indirect effects) maupun dampak ikutan (induced effects). Salah satu yang tampak adalah, bahwa di suatu kawasan pariwisata hampuir dipastikan akan terdapat sektor usaha formal (misal hotel, restoran, agen perjalanan wisata, dll) dan sektor usaha informal (misal pengrajin cinderamata, petani buah-buahan atau bunga, dil) yang berjalan seiringan.
Namun terdapat suatu fenomena bahwa, sampai sejauh ini belum tercipta hubungan yang berlanjut (swsfar), khususnya antara usaha pariwisata dengan sektor agroculture. Kondisi ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu:
1. Usaha pariwisata menerapkan standar yang telatif tinggi, meliputt kualitas untuk bahan baku atau produk-produk yang akan ditawarkan kepada wisatawan selaku konsumen, serta membutuhkan kontinuitas pasokan.
2. Sektor agroculture mayoritas masih dikelola secara tradisional, dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan kondisi alam, schingga kurang dapat menjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitas hasil produknya.
Kondisi diatas menuntut adanya suatu kerjasama langsung, yang diharapkan mampu mencani solusi terciptanya mata rantai usaha pariwisata dengan sektor agroculture, salah satunya adalah melalui Kemitraan Usaha Pariwisata, yang mendasarkan pada prinsip Partisipasi, Saling Menerima, Komunikas1, Saling Percaya dan Saling Berbagt.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari adanya Kemitraan Usaha Pariwisata:
1. Berkurangnya kebocoran devisa (dackages) serta ketergantungan usaha pariwisata terhadap bahan-bahan impor (seperti sayuran/buah, material interior, dll).
2.Terbukanya lahan pemasaran baru bagi sektor agroculture, dengan nilai tambah yang lebih besar, melalui keterlibatannya dalam usaha pariwisata.
3. Terbukanya lahan kerja baru di sektor agroculture, khususnya yang berkaitan dengan penanganan produk (storage, delivering, dll untuk pasokan kebutuhan usaha pariwisata.
4. Pemerataan pendapatan scrta terciptanya jaring kerjasama antara usaha besar (usaha pariwisata) dengan usaha skala kecil-menengah di pedesaaan, khususnya yang terkait dengan sektor agroculture.
——————-
* Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Rangka Otonomi Daerah”, 21 September 1999, dalam rangkaian Peringatan Dies Natalis ke -50 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
—————–
Wiendu Nuryanti, Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Ketua Umum BPIPY (Badan Pengembangan Industri Pariwisata Yogyakarta/Yogya Promo)
Hidayatullah Al Banjary, Sekretaris Badan Pengembangan Industri Pariwisata Yogyakarta/Yogya Promo dan Staf Peneliti pada STUPPA Indonesia
——————–
Referensi:
Afdhal, A.F. 1996. Pengembangan dan Prospek Industri Jamu di Indonesia, Karta Tumbuhan Obat Indonesia 1996
Husodo, Triwi, Ir. 1999 Produk Olahan Kelapa untuk Menunjang Industri Pariwisata, Paper disajikan dalam Workshop Industri Pengolahan Kelapa menghadapi Millenium III, Yogyakarta, 7 September 1999, Depperindag 1999
Minnery, John 1997 Planning Sustainable Tourism, Penerbit ITB 1997
Monsanto, D.L.S. 1999 Pembajakan Sumberdaya Hayati, Pustaka Latin 1999
Puslitek Depparpostel 1997 Penelitian Wisatawan Mancanegara yang Meninggalkan Indonesia tahun 1997
Wibowo, N.R. 1998 Eonzsata Berbasis Pengembangan Masyarakat dan Pemasalahannya, papet disajikan dalam Pertemuan Nasional Ekowisata III, Tana Toraja, September 1998
Nuryanti, W. Tors and Regulation Derelopment in The 27 Regions in Indonesia (upcoming publication)