Puasa, Perisai Pariwisata

PARIWISATA sudah menjadi komoditi pilihan yang sangat penting. Tuntutan untuk mendongkrak porsi non migas dalam penerimaan negara sudah semakin besar. Sepanjang tahun 1989, hampir US$ 1,3 miliar devisa yang diraih dari sektor ini, urutan keenam setelah minyak, gas, kayu, karet, dan kopi. Sedangkan tahun ini, GBHN menargetkan pariwisata mampu meningkatkan perolehannya menjadi peringkat ketiga. Karena itu, Tahun Kunjungan Indonesia 1991 adalah tahun yang diharapkan dapat mengembangkan kunjungan wisata, terutama wisatawan dari manca negara, dalam skala yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.

Indonesia sangat potensial dalam pemilikan objek wisata dalam segala bentuk, jenis serta ketersebarannya yang menjangkau seluruh wilayah Nusantara, sehingga secara ekonomis mempunyai prospek pertumbuhan pendapatan yang tinggi serta dapat menumbuhkan akselerasi kegiatan ekonomi secara horisontal maupun vertikal.

Karena itu, untuk mempersiapkan Tahun Kunjungan Indonesia 1991, diperlukan kesiapan segenap pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat di sekitar objek wisata dan transit area. Kesiapan yang tidak hanya menyangkut pelayanan fisik, misalnya, akomodasi, informasi, jasa transportasi dan industri cendera mata, tapi yang lebih penting adalah kesiapan masyarakat beragama (baca: Islam) untuk menjaga nilai-nilai agamanya dari benturan dan gesekan budaya yang tak mungkin terelakkan.

Dengan kata lain, sadar wisata haruslah dipahami tidak sekedar menyediakan sarana dan prasarana wisata yang cenderung memanjakan wisatawan, tetapi termasuk pengertian sadar wisata adalah kesadaran untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai luhur agama. Momentum puasa Ramadan di tahun wisata ini, diharapkan mampu menyadarkan umat Islam untuk mengaktualisasikan ruh puasa dalam upaya menggali potensi dan mengembangkan pariwisata di Indonesia.

Pariwisata, Antara Peluang dan Tantangan
Tahun kunjungan Indonesia sudah tiba, sebenarnya di balik semangat Visit Indonesia Year 1991, bukan sekedar upaya menggali potensi wisata Indonesia yang akan menarik turis, tapi mengalirkan dolar ke Indonesia. Ini berarti peningkatan devisa negara dan berarti pula penghematan komoditi ekspor primadona semacam minyak, gas, kayu, karet yang memang akan diwariskan pada anak cucu bangsa Indonesia. Dengan demikian diharapkan, generasi mendatang tidak hanya mewarisi timbunan utang luar negeri yang semakin membengkak, tapi dapat menikmati roti pembangunan.

Tentu saja masalahnya tidak sekedar aliran dolar, tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya pergeseran nilai dan budaya. Arus deras kebudayaan dari luar, entah itu Barat yang permisif dan Timur yang nativistik, melanda bersamaan dengan mengalirnya uang yang dibawa wisatawan. Para pelancong jelas membawa nilai baru. Dan ini bersentuhan dengan adat dan budaya setempat. Tak heran jika banyak orang cemas, sendi-sendi agama yang demikian kukuh lama-lama akan terkikis juga.

Bahkan seandainya tanpa pariwisata pun, benturan nilai dan budaya antar peradaban tetap saja akan terjadi, terutama dalam era globalisasi budaya yang ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik elektronik maupun cetak. Hanya saja, jika pengaruh negatif dari pariwisata bisa dihindari, maka paling tidak akselerasi pergeseran nilai-nilai religi bisa dikendalikan.

Pelajaran mahal bisa dipetik dari kasus Bali, sebagaimana dicemaskan oleh Ide Anak Agung Gde Agung, bekas pejabat tinggi negara dalam bukunya Bali Abad XIX, yang melihat betapa hebatnya pengaruh pariwisata dalam kebudayaan Bali. Bisa jadi, apa yang tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda, Jepang atau kaum misionaris untuk mengubah budaya Bali, bisa dilakukan dengan mudah oleh pariwisata dalam waktu yang singkat, hanya dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Bagaimana kukuhnya budaya Bali sebenarnya sudah terbukti dari berbagai kisah lama. “Soalnya agama sebagai warisan leluhur adalah pusat kehidupan, agama adalah bagian dari hidup sehari-hari”, toh demikian masih tergilas juga. Kekhawatiran yang sama diungkap oleh pelukis Miquel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali (1937), yang juga dibenarkan oleh Hugh Mahbett dengan tulisannya The Balinese (1985).

Dengan Tahun Kunjungan Indonesia 1991, tujuan wisata diharapkan tidak hanya Bali, tetapi semua daerah potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi objek wisata, seperti Pulau Lombok (yang dikenal sebagai duplikatnya Bali), Jawa, Sumatera, dan lain-lain. Ini berarti, umat Islam yang potensial di daerah-daerah tersebut termasuk di sekitar transit area akan menghadapi tantangan yang serupa, bahkan lebih mengkhawatirkan daripada Bali.

Dengan melestarikan kebudayaan daerah (adat) yang inheren dengan peribadatan agama Hindu Bali, maka praktis Bali hanya menghadapi satu tantangan, yakni kebudayaan Barat yang permisif. Berbeda dengan tantangan umat Islam menghadapi era pariwisata ini, selain menghadapi benturan budaya Barat yang permisif juga harus menghadapi upaya pelestarian kebudayaan daerah (Jawa, misalnya) yang cenderung sinkretik dan klenik. Padahal, oleh gerakan-gerakan dakwah terdahulu misalnya para wali, organisasi Muhammadiyah dan lain-lain, budaya sinkretik tersebut sudah dieliminasi maupun diakomodasikan menjadi kebudayaan yang bernafaskan Islam dan tidak menggangeu kesucian iman.

Walhasil, jika kita mau jujur mengakui bahwa sebenarnya benturan nilai dan budaya dalam era globalisasi seperti sekarang ini, merupakan gejala yang tak mungkin dihindari kehadirannya. Artinya, umat Islam sebagai bagian terbesar dari masyarakat Indonesia juga tidak bisa lari dari kenyataan pahit ini. Konsekuensi dari kesadaran ini adalah memuat tuntutan kesiapan umat Islam menghadapi pengaruh buruk pariwisata dan atau globalisasi budaya.

Puasa dan Sadar Wisata
Memang disadari, apa yang datang dari Barat maupun yang datang dari Timur tidak selalu jelek, karena kebenaran dan kebaikan itu tidak Barat dan tidak Timur (laa syarqiyyah wa laa gharbiyyah). Di sisi lain, hukum dasar pariwisata (wisata alam, wisata budaya, bukan wisata seks) adalah diperbolehkan, bahkan diperintahkan dalam upaya tadabbur alam dan bertasbih memuji kebesaran dan kebenaran janji-janjiNya.

Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, menjadi tanda (ayat) bagi kaum yang berpikir. Yaitu, orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, serta merenungkan penciptaan langit dan bumi, (sembari berkata): YaTuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau dan jauhkan kami dari api neraka” (QS.3: 190-191).

Ditegaskan lagi dalam QS. 88:17-21: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimanaia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Jika sadar wisata sebagaimana tersirat dalam ayat-ayat tersebut dipahami sesuai dengan kerangka normatifnya, maka kekhawatiran dan kecemasan terhadap dampak pariwisata tidak perlu terjadi. Bahkan akan terlihat korelasi positif nilai wisata dengan muatan makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam perilaku dan simbol-simbol keagamaan lainnya, seperti thoharoh, salat, dzikir, zakat, dan sebagainya.

Demikian juga dengan puasa, muatan makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak jauh berbeda dengan berwisata, yaitu bertasbih, berdzikir, tazkiyah (penyucian dan pengendalian diri) dan sebagainya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Puasa itu perisai”.

Sebagai penjelasan hadist tersebut Al ‘Alamah Ibnul Qayyim menambahkan:“Tujuan puasa adalah membebaskan ruh manusia dari cengkeraman hawa nafsu yang menguasai jasmaninya menuju sasaran pensucian dan kebahagiaan yang abadi. Puasa bertujuan membatasi intensitas keinginan hawa nafsu dengan jalan lapar dan haus menggerakkan manusia untuk ikut merasakan betapa banyak manusia di dunia ini yang harus pergi tanpa sedikit makanan, menyulitkan setan dalam memperdayakannya dan mengekang organ-organ tubuhnya agar tidak berbelok ke arah hal-hal yang membawa kerugian dunia-akhirat. Demikianlah bahwa puasa itu merupakan kendali bagi orang-orang yang takwa, perisai bagi para pejuang dan disiplin untuk berbuat baik” (Zadu’l-Ma’ad, Vol.I,p.152).

Makna perisai dan pengendalian ini jika dikaitkan dengan gerakan sadar wisata, maka paling tidak memuat beberapa konsekuensi, antara lain:

Pertama, ruh puasa sebagai parisai transformasi budaya. Kehadiran produk kebudayaan Barat (mulai dari ilmu, teknologi, mode, dan gaya hidup), cenderung dimanfaatkan untuk kepentinga-kepentingan yang bersifat rekreatif dan bukan untuk keperluan yang edukatif dan produktif. Kecenderungan ini meluas sampai pada sektor pariwisata, sehingga pariwisata mulai kehilangan makna. Artinya bukan lagi upaya tadabur alam, berdzikir dan bertasbih, melainkan sekedar rekreasi, hura-hura dan bahkan tak sedikit yang mengembangkan wisata seks. Sehingga di beberapa negara tetangga, pengembangan wisata identik dengan pengembangan bisnis seks.

Pada porsi tertentu rekreasi itu memang sangat bermanfaat, tetapi akan menjadi malapetaka peradaban jika gaya hidup yang rekreatif itu dibiarkan tak terkendali. Sebab, berturut-turut akan mengakibatkan berbagai krisis, mulai dari krisis idola, krisis identitas, krisis akhlak sampai pada krisis aqidah.

Kedua, ruh puasa sebagai perisai dalam menggali potensi wisata. Menggali potensi budaya bangsa, seyogyanya diupayakan tetap pada aspek kekayaan (khazanah) budayanya. Artinya, tidak perlu mengusik dan mengembalikan keyakinan sinkretik yang akan mengotori iman dan menjadikan pribadi yang mendua (schizoid).

Kebijakan pengembangan pariwisata yang terlalu berorientasi pada pasar, sehingga terkesan memanjakan wisatawan asing, seyogyanya perlu dikaji ulang. Orientasi pada nilai-nilai luhur agama, tampaknya perlu mendapat perhatian. Artinya, tidak selalu bangsa Indonesia yang diminta menyesuaikan dan melayani wisatawan mancanegara (wisman), tetapi sekali waktu wisman yang harus menyesuaikan dengan nilai, tradisi, dan budaya kita.

Keberhasilan Jepang dalam membangun negerinya menjadi incaran wisman dengan tetap meestarikan tradisinya, tampaknya perlu dipelajari dan ditiru. Misalnya, dengan mengembangkan wisata (tour) walisanga, wisata alam, dan meniadakan wisata seks. Lucunya justru wisatawan Nusantara (wisnu) yang agaknya susah diatur, sampai muncul cerita anekdot di Jatim, wisman pergi ke Bromo, wisnu ke Tretes.

Ketiga, ruh puasa sebagai perisai filter nilai-nilai luhur agama dan budaya. Semakin terasa urgensi lembaga filter, yang menyaring penetrasi budaya asing yang tidak Islami, baik yang lewat media eletronik, cetak maupun intervensinya lewat turis mancanegara. Keandalan filterisasi tersebut memungkinkan jika dilakukan secara seksama dan berlapis-lapis, mulai dari lembaga pemerintah (c.q. Dinas Pariwisata), lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakaan serta lembaga keluarga yang menjadi benteng (lembaga) terakhirnya. Pengalaman di Rusia, tampaknya menarik untuk dikaji ulang, bagaimana umat Islam di Asia Tengah Soviet (Azerbaijan, Uzbeghistan, Turkmen, dan sekitarnya) mengandalkan lembaga keluarga sebagai benteng terakhir menghadapi kekejaman rezim komunis Soviet.

Dengan perisai pariwisata tersebut, insya Allah, meskipun mungkin tidak bisa meniadakan sama sekali benturan nilai yang terjadi akibat kebijakan Tahun Kunjungan Indonesia 1991, namun paling tidak bisa mengurangi akselerasinya.

Ir. Misbahul Huda, adalah dosen Universitas Al Falah Surabaya.

Sumber: Jawa Pos, tanpa diketahui tanggal dan bulan tahun 1991

more recommended stories