Pariwisata dan Kebudayaan

Seperti yang dialami oleh masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan PELITA I, demikian pula seperti yang dialami oleh masyarakat-masyarakat lain di seluruh dunia yang melakukan pembangunan ekonomi, maka tidak dapat dihindarkan bahwa pembangunan ekonomi dengan sendirinya membawa akibat dalam bidang sosial dan kebudayaan. Akibat itu ada yang dinilai baik, akan tetapi juga ada yang dinilai buruk. Biasanya akibat yang dinilai baik tidak banyak menarik perhatian orang banyak, mungkin karena dianggap sudah sewajarnya dalam usaha masyarakat memperbaiki kehidupannya. Sebaliknya akibat yang dinilai buruk menimbulkan kritik, bahkan mungkin sekali mencetuskan reaksi dan tindakan-tindakan kekerasan dari berbagai golongan dalam masyarakat. Hal ini kita saksikan di Indonesia —terutama di Jakarta— dalam bentuk-bentuk demonstrasi mahasiswa di berbagai kota dan berbagai universitas dalam bulan Januari 1974 untuk menuntut penghapusan akibat-akibat sosial yang dianggap tidak baik dari penanaman modal asing, khususnya penanaman modal Jepang.

Pariwisata —terutama pariwisata internasional— termasuk dalam program pembangunan nasional di Indonesia sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. Dari pariwisata diharapkan dapat diperoleh devisa, baik dalam bentuk pengeluaran uang para wisatawan di negara kita, maupun sebagai penanaman modal asing dalam industri pariwisata. Pembangunan pariwisata dianggap demikian penting oleh Pemerintah sehingga didirikan suatu Direktorat Jenderal Pariwisata, bahkan banyak orang mengharapkan pada suatu waktu Direktorat Jenderal itu akan ditingkatkan menjadi Departemen tersendiri.

Pariwisata tidak berbeda dari lain-lain sektor ekonomi misalnya industri, dagang, atau transpor. Yang dimaksudkan ialah bahwa pariwisatadalam proses perkembangannya juga mempunyai pengaruh dalam bidang sosial dan budaya seperti sektor ekonomi lainnya. Tidak hanya pariwisata internasional yang memberi pengaruh itu; pariwisata elalam negeripun mempunyai pengaruh kebudayaan, lebih-lebih kalau diingat bahwa melalui saluran pariwisata terjadi perjumpaan antara bermacam-macam kebudayaan yang ada pada tiap-tiap suku bangsa di wilayah negara kita. Meskipun demikian harus diakui bahwa pengaruh pada kebudayaan di dalam masyarakat kita lebih kuat datangnya dari pariwisata internasional dibandingkan dengan pengaruh yang datangnya dari pariwisata dalam negeri. Yang demikian itu sebagian besar terjadi karena kekuatan ekonomi pariwisata internasional yang relatif lebih besar dan perhatian mereka yang lebih besar terhadap unsur-unsur kebudayaan kita yang dianggap “eksotik”.

Dengan bertambahnya wisatawan internasional yang setiap tahun mengunjungi kepulauan kita, maka kebudayaan kita diperkaya dengan berbagai unsur baru yang tersimpul dalam industri pariwisata. Untuk menarik para wisatawan asing ke negara kita dan kemudian melayaninya dengan sebaik-baiknya maka didirikan perusahaan pener-bangan, travel bureaus, hotel, motel, perusahaan transpor darat dan air, demikian pula sekolah-sekolah dan kursus-kursus untuk mendidik dan melatih para karyawan yang akan bekerja dalam industri pariwisata itu.

Setiap lembaga baru itu pada umumnya tidak hanya merupakan unsur baru akan tetapi lembaga-lembaga itu masing-masing membawa juga pengaruh ke arah modernisasi. Yang dimaksudkan dengan modernisasi di sini selain meliputi penggunaan alat-alat yang modern juga mengandung cara berusaha yang menggunakan sistim kerja yang modern pula Beberapa unsur sistim kerja demikian itu misalnya efisiensi, penilaian tinggi pada faktor waktu, menepati janji dan ketentuan saat, serta organisasi perusahaan yang rapi dan efektif.

Oleh karena persaingan di dalam negeri dan juga di dunia internasional —ingat saja pada penerbangan internasional— maka suatu perusahaan pariwisata yang tidak mengindahkan cara kerja yang modern sukar akan dapat mempertahankan diri. Lain dari pada itu setiap kesatuan usaha pariwisata —baik kesatuan itu merupakan hotel, motel atau travel bureau— kalau mau tetap hidup, tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi harus menjadi suatu mata dalam rantai perusahaan yang memanjang di banyak negara. Untuk menjadi mata rantai itu maka tiap-tiap perusahaan harus dapat memenuhi standar modernisasi yang ditentukan sama di semua negara yang diikat oleh rantai tadi.

Keharusan untuk memenuhi ukuran standar ini dapat menimbulkan keganjilan apabila suatu perusahaan pariwisata, misalnya sebuah hotel atau restoran, ditempatkan di suatu daerah di mana masyarakatnya memiliki tingkat kebudayaan yang jauh berbeda atau jauh di bawah standar usaha modern tersebut. Keperluan suatu hotel tingkat internasional akan daging, telor, susu dan buah-buahan acapkali tidak dapat dilayani oleh masyarakat di sekitarnya oleh karena tidak dapat dipenuhi standar kwalitas, ukuran, serta jumlah dan waktu penjualan yang sudah ditentukan dalam kontrak jual beli. Akhirnya semua keperluan tersebut harus diimpor dari negara lain. Namun lambat laun pengaruh produksi bahan-bahan keperluan secara usaha modern meresap dan meluas di masyarakat yang mengelilingi perusahaan pariwisata itu.

Di dalam proses pengaruh-mempengaruhi antara dua macam kebudayaan itu tampak juga suatu gejala yang menunjukkan bahwa orang-orang lndonesia dalam peri kelakuannya dapat menggunakan sistem penilaian yang berbeda menurut lingkungan sosialnya. Dalam usaha melayani para wisatawan asing maka segala sesuatu harus benar-benar bersih, lagi pula setiap usaha dimulai dan diakhiri tepat pada saat yang sudah ditentukan dalam rencana. Dengan manajemen yang modern, lebih-lebih kalau dilakukan oleh orang asing, maka para karyawan Indonesia dengan memuaskan dapat memenuhi ketentuan-ketentuan dalam hal kebersihan dan waktu. Lebih dari itu banyak di antara mereka yang bangga kalau dapat memenuhi ketentuan-ketentuan itu. Meskipun demikian apabila para karyawan itu dalam waktu-waktu terluang kembali di rumah sendiri di kampung atau desanya maka tampak jelas bahwa mereka hanya sedikit saja memperhatikan keperluan akan kebersihan di dalam rumah tangganya, bahkan juga ketepatan waktu dalam hubungan mereka dengan orang-orang lain sekampung atau sedesa. Agaknya mereka itu lebih keras berusaha menyesuaikan diri pada lingkungan sosial mereka dari pada berusaha mengubah lingkungan sosial itu ke arah yang mereka anggap lebih baik.

Selain membawa lembaga-lembaga baru ke dalam kebudayaan di Indonesia maka pariwisata internasional juga berpengaruh menggairahkan hidup berbagai segi kebudayaan kita. Pada umumnya para wisatawan internasional mengunjungi Indoneia uuntuk melihat dan mengalami keadaan alam dan kebudayaan yang khas ada di Indpnesia. Mula-mula masyarakat yang memiliki unsur-unsur kebudayaan yang menarik para wisatawan asing, merasa bangga atas perhatian itu, terutama kalau wisatawan asing berkulit putih dan karena itu dianggap berkebudayaan yang lebih unggul dari pada kebudayaan di Indonesia.

Unsur-unsur kebudayaan yang disajikan pada para wisatawan itu banyak yang terdapat dalam bidang kesenian, seperti misalnya arsitektur dan hiasan rumah, seni tari, seni suara, atau seni mengarang bunga. Para wisatawan asing yang bermalam di Bali Hyatt Hotel terkesan akan karangan-karangan dan sesajian bunga yang sederhana, namun indah, yang setiap hari disajikan di kamar mereka dan di lobby serta ruang makan. Tetap mereka lebih terkesan lagi ketika mereka tanpa sengaja dapat melihat cara merangkaikan dan menyusun bunga yang dilakukan oleh beberapa orang wanita Bali sambil duduk di atas tikar di lantai di ruangan belakang hotel itu.

Perhatian dan penilaian para wisatawan asing akan seni mengarang bunga itu menghidupkan kembali penghargaan masyarakat Indonesia pada bidang kesenian sehingga sekarang, hampir di tiap-tiap upacara negara dan masyarakat kita melihat karangan bunga, buah-buahan dan daun kelapa muda yang meluas dari Bali ke daerah-daerah lain dengan variasi yang menunjukkan dinamika pada jiwa para seniman dan seniwatinya.

Kita semua mengetahui bahwa di samping keinginan bangsa Indonesia untuk menemukan kembali unsur-unsur kepribadian asli kita maka pariwisata juga merupakan daya pendorong kuat yang dapat menciptakan sendratari Ramayana di Prambanan, drama gong di Bali dan tarian-tarian baru di berbagai daerah negara kita. Bertahannya kerajinan perak di Kendari dan Yogyakarta, kerajinan dan kesenian patung dan lukisan di Bali dan muncul serta menyebarnya kerajinan batik dalam bentuk seni yang modern segar lagi pula buat keperluan-keperluan yang baru dan menyimpang dari penggunaan tradisionil, jelas mengandung pengaruh pariwisata di dalamnya.

Selain kesenian maka upacara-upacara agama atau adat pun amat menarik perhatian para wisatawan asing dan wisatawan Indonesia. Upacara-upacara di pura-pura di Bali, upacara pembakaran jenazah di pulau dewata itu, upacara labuhan di Parang Yogyakarta, upacara wakak di Borobudur, dan akhir-akhir ini upacara pemakaman jenazah di tanch Toraja Sulawesi Tengah, senantiasa mendapat kunjungan banyak wisatawan. Bahkan juga sebelum upacara-upacara itu akan dilakukan, travel bureau di Jakarta sudah mulai mengatur perjalanan para wisatawan yang ingin mengunjunginya.

Upacara-upacara itu timbul dari sistim kepercayaan atau adat suku bangsa yang berkepentingan dan oleh karena itu mempunyai arti kebudayaan yang mendalam bagi masyarakat yang melakukannya. Adanya wisatawan yang menonton sebenarnya merupakan gejala yang tidak termasuk dalam tata susunan upacara-upacara itu. Meskipun demikian perhatian dari orang banyak itu menambah kebanggaan pada mereka yang bertanggung jawab, dan oleh karena itu mereka berusaha untuk menyelenggarakannya selengkap-lengkapnya, bahkan semewah mungkin. Kejadian yang demikian itu tampak pada upacara pembakaran jenazah di Bali dan upacara pemakaman di tanah Toraja. Upacara-upacara itu dari sudut ilmu ekonomi dianggap sebagai penghamburan dan penghancuran kekayaan secara konsumtif dan merugikan sekali pada proses produksi dan pengembangan ekonomi masyarakat yang melakukannya. Memang sering sukar dapat dimengerti oleh banyak orang bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu ada unsur-unsur yang memberikan kebanggaan dan kepuasan hati lebih besar kepada masyarakat dari pada peningkatan produksi barang dan peningkatan penghasilan uang. Yang demikian itu tidak berarti bahwa suku-suku bangsa yang disebut di atas kebal terhadap pengaruh ekonomis dari pariwisata. Sama sekali tidak. Makin besar jumlah wisatawan yang setiap tahun mengunjungi suatu daerah untuk mengagumi kebudayaan, makin jelas timbul dan tumbuhnya keinginan masyarakat yang dikunjungi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari kunjungan para wisatawan itu. Justru disinilah letaknya persoalan dalam hubungan antara pariwisata dan kebudayaan.

Seperti yang telah digambarkan di atas, pada satu fihak pariwisata terutama pariwisata internasional —menggairahkan perkembangan kebudayaan asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur kebudayaan yang sudah hampir dilupakan. Pada lain fihak terdapat kenyataan bahwa pariwisata tadi mengubah motivasi berbagai unsur kebudayaan. Kesenian dan upacara yang pada asalnya dilakukan karena motivasi tradisi atau spirituil yang berakar sangat kuat dalam kebudayaan masyarakat menunjukkan tendensi menjadi lepas dari motivasi asli itu karena adanya motivasi baru, yaitu motivasi yang bersifat komersiil. Makna yang amat datam dari kesenian dan upacara itu tersisihkan, emosi yang murni dari para pelakunya menjadi lemah dan rangkaian gerak yang dilakukan hanya dimaksudkan untuk mendapat upah yang harus dibayar oleh para wisatawan, baik secara langsung ataupun melewati travel bureau. Tari-tarian, tabuh-tabuhan dan upacara yang menurut maknanya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat waktu, tempat dan suasana, kemudian dilakukan atas pesanan mereka yang memberi bayaran.

Mereka yang mampu menilai keindahan kesenian dalam kebudayaan kita dapat mengamati bahwa mutu kesenian seorang “profesionil” atau seniman bayaran adalah lebih rendah dari pada kesenian seorang “amatir” yang menjalankannya karena cintanya pada seni atau karena dorongan kepercayaannya. Seorang profesionil melakukan kesenian untuk mendapat uang dan tidak merasa gelisah kalau ada kesalahan atau kekurangan yang dilakukannya, asal saja ia mendapat uang. Sebaliknya seorang seniman amatir merasa kecewa dan malu atau mungkin malahan merasa berdosa apabila ia tikiak dapat melakukan keseniannya dengan sempurna.

Dapat dikatakan juga bahwa kesenian dan upacara yang semula dimaksudkan untuk keselamatan, kebahagiaan dan keutuhan seluruh masyarakat menjadi pertunjukan buat kepentingan pribadi si pelaku sendiri.

Masih ada lagi pengaruh pariwisata yang dapat merusak keutuhan masyarakat, terutama dalam bidang kesusilaannya, yaitu timbulnya sex industry untuk melayani para wisatawan, baik pria maupun wanita. Seorang wisatawan yang di kampung atau desanya sendiri terkenal sebagai orang yang alim dan mengindahkan norma-norma tata susila yang berlaku, merasa dirinya terlepas dari kontrol sosial para kenalan, tetangga dan kerabatnya selama ia berada dalam perjalanan. Karena kebebasan dari kontrol sosial itu seorang wisatawan merasa dirinya tertarik pada romantik untuk berhubungan dengan wanita atau pria yang bukan isteri atau suaminya yang sah. Nafsu komersiil yang mungkin sudah ada pada masyarakat yang menerima kunjungan para wisatawan itu mendorong mereka mendirikan dan mengusahakan sex industry buat melayani para wisatawan itu. Akibat-akibat dari industri semacam ini yang merusak kebudayaan masyarakat kita tidak perlu lagi diuraikan panjang lebar dalam karangan yang pendek ini.

Akhirnya disebut di sini akibat pariwisata internasional yang langsung merugikan kebudayaan masyarakat yang menjadi tuan rumah. Para wisatawan sudah wajar, bahkan dianjurkan, untuk membeli barang-barang hasil kerajinan dan kesenian sebagai kenang-kenangan. Selama yang dibeli dan kemudian dibawa keluar negara kita adalah hasil kerajinan atau kesenian yang masih hidup, artinya yang produksinya masih berlangsung terus, maka kebiasaan para wisatawan ini menguntungkan bagi kita. Tetapi kalau yang diambil dan dibawa pergi —malahan mungkin tanpa membayar— adalah benda-benda kebudayaan yang sudah tidak mungkin diproduksikan lagi karena merupakan warisan kebudayaan kuno atau ciptaan seniman besar yang sudah meninggal, maka hal itu dapat menimbulkan kerugian besar pada kebudayaan kita. Barang siapa pernah mengunjungi candi Borobudur pasti melihat banyak patung Budha yang sudah hilang kepalanya. Ada dugaan yang keras sekali bahwa kepala-kepala patung Budha itu telah dibawa ke luar negara kita oleh orang-orang yang tidak mempunyai rasa tanggung jawab atas keluhuran warisan kebudayaan kuno itu bagi bangsa Indonesia.

Untuk berusaha agar pariwisata yang senantiasa meningkat tidak terlalu cepat dan tidak terlalu banyak berpengaruh negatif pada kebudayaan asli di Bali maka Pemerintah Republik Indonesia mencoba menjalankan kebijaksanaan dengan membatasi tempat industri pariwisata dalam suatu daerah tertentu. Di samping daerah Sanur dan Kuta yang sudah banyak berisikan hotel internasional dan lain-lain perusahaan pariwisata, maka industri pariwisata baru hanya diijinkan untuk dibangun di daerah Nusadua. Daerah ini yang terletak di sudut selatan dari pulau Bali mempunyai penduduk yang relatif hanya sedi kit saja.

Dengan membatasi industri pariwisata dalam daerah Nusadua itu maka diharapkan bahwa perkembangan pariwisata tidak akan terlalu cepat dan terlalu banyak mempengaruhi kebudayaan asli Bali yang masih hidup subur di desa-desa. Sudah barang tentu para wisatawan bebas untuk bepergian ke mana-mana, namun karena hotel-hotelnya hanya ada di Sanur, Kuta dan Nusadua maka mereka pada waktu malam harus kembali ke daerah itu.

Sesuai dengan kebijaksanaan itu maka diusahakan pula agar pementasan kesenian rakyat tetap diadakan di desa-desa atau di tempat-tempat lain menurut ketentuan adat dan tidak di hotel-hotel. Untuk tetap menyegarkan kehidupan budaya masyarakat Bali telah dibuat pula di Denpasar suatu pusat pengembangan kebudayaan Bali di mana para seniman dan budayawan dapat menampilkan kreasi baru mereka untuk dikritik dan disempurnakan.

Sampai berapa jauh kebijaksanaan Pemerintah ini akan dapat memenuhi harapan, amat banyak tergantung pada kesungguhan dan pengertian dalam pelaksanaannya.

———————–

SELO SOEMARDJAN, lahir di Yogyakarta tahun 1915, adalah guru besar sosiologi, Direktur Lembaga Riset Regional pada Universitas Indonesia dan Sekretaris Wakil Presiden RI di Jakarta. Sebelumnya (1950), adalah Kepala Staf Dinas Sipil pada Gubernur Militer (Jakarta), Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri (1950-1956), Sekretaris Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara merangkap Kepala Biro Politik dan Keamanan Sekretariat Negara (1959-1961), Kepala Biro Politik Sekretariat Negara, merangkap Sekretaris Badan Pengurus Masalah Keuangan (1961-1966); Sekretaris’Wakil Perdana Menteri untuk Urusan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan (Maret—Juli 1966); Sekretaris Presidium Menteri Urusan Ekonomi dan Keuangan (1966-1967), Sekretaris Menteri Negara Urusan Ekonomi, Keuangan dan Industri (1967-1973), Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1968-1973) dan mengajar pada SESKOAD, SESKOAL dan LEMHANAS. Memperoleh gelar doktor (Ph. D) dari Universitas Cornell di Amerika Serikat (1959). Menulis berbagai tulisan dan buku di antaranya, Social Changes in Yogyakarta (Ithaca, Cornell University Press, 1962) dan Bunga Rampai Sosiologi (bersama Soelaeman Soemardi SH, MA).

Sumber: Jurnal Prisma, No. 1 Tahun III — Februari 1974

more recommended stories