Pendahuluan
Peranan pariwisata datam pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yakni segi ekonomis (sumber devisa, pajak-pajak), segi sosial (penciptaan lapangan kerja) dan segi kebudayaan (memperkenalkan kebudayaan kita kepada wisatawan-wisatawan asing). Ketiga segi tersebut tidak saja berlaku bagi wisatawan-wisatawan asing tetapi juga untuk wisatawan-wisatawan domestik yang kian meningkat peranannya. Penciptaan kesempatan kerja yang bersifat langsung dan sangat menot-;jol adalah di bidang perhotelan, suatu industri jasa yang bersifat padat karya (relatif terhadap modal yang ditanam). Bidang-bidang lain seperti biro-biro perjalanan, pramuwisata (guides), pusat-pusat rekreasi dan kantor-kantor pariwisata Pemerintah pusat & daerah) memerlukan pula tenaga-tenaga yang trampil/ ahli, namun dalam persentase yang relatif kecil. Jenis-jenis lapangan kerja seperti diutarakan di muka dapat dikatakan sebagai konsekwensi logis dari perkembangan pariwisata. Mengingat cara-cara penanggulangan kebutuhan tenaga kerja untuk bidang perestoranan (catering) adalah serupa dengan bidang perhotelan, maka untuk selanjutnya yang dimaksud dengan perhotelan dalam karangan ini meliputi juga unsur perestoranan (hotel & catering).
Selain itu, berkembangnya pariwisata akan berakibat ganda terhadap lain-lain sektor pula, seperti bidang pertanian, peternakan, kerajinan rakyat, permebelan, tekstil dan lain-lain kegiatan yang produknya diperlukan untuk menunjang perkembangan pariwisata (khususnya hotel, restoran). Juga termasuk di sini kegiatan-kegiatan yang bersifat temporer, misalnya tenaga-tenaga untuk bidang konstruksi. Harus diakui bahwa sukar membuat suatu perkiraan mengenai kesempatan kerja yang tidak langsung tersebut. Berbagai model telah dikembangkan untuk membuat perhitungan tetapi nampak bahwa semuanya masih berupa model yang bersifat teoritis. Misalnya Prof. Chau mengemukakan hasil penelitian di Hawaii bahwa setiap kenaikan kunjungan wisatawan sejumlah 25.000 orang mengakibatkan terciptanya kesempatan kerja yang bersifat langsung sejumlah 390 dan yang tidak langsung sejumlah 243. Mengingat tinggi taraf upah dan produktivitas per anggota angkatan kerja, demikian pula mengingat rendahnya tingkat pengangguran di negara tersebut, maka apabila model tersebut ditrapkan disini tentunya harus diadakan penyesuaian-penyesuaian yang akan berakibat bahwa jumlah kesempatan kerja lebih besar. Menurut penelitian IUOTO (International Union of Official Travel Organization) kesempatan kerja yang terbuka di seluruh dunia untuk bidang-bidang hote’ dan restoran saja diperkirakan 750.000 per tahunnya.
Berhubung pada waktu karangan ini ditulis justru sedang dipersiapkan survey tenaga kerja pariwisata secara menyeluruh, maka tidak dapat disajikan suatu analisa kwantitatif sebagaimana seharusnya. Oleh sebab itu, tekanan utamanya adalah pada tinjauan umum. indentifikasi masalah-masalah pokok dan cara-cara pendekatannya.
Perkembangan dan Proyeksi Pertumbuhan Pariwisata: Tinjauan Umum
Berkat iklim baik yang telah berhasil diciptakan oleh Pemerintah di bidang keamanan, politik, sosial dan ekonomi pada umumnya, maka selama periode REPELITA I terlihat dengan jelas grafik peningkatan perkembangan pariwisata. Meskipun jumlah absotut kedatangan wisatawan asing dibandingkan dengan negara-negara tetangga masih sangat kecil, namun dalam persentasenya adalah cukup besar, yaitu rata-rata 39,2% pa-da tahun 1968 (1969=86.067;1970=129.319;1971= 178.781; 1972 = 221.195; 1973 = 270.000; perkiraan). Singapura dan Muang Thai misalnya pada tahun 1972 mencatat kunjungan wisatawan asing masing2 sejumlah 650.000 dan 800.000. Pada tahun 1973 diperkirakan 875.000 untuk Singapura dan 1.000.000 untuk Muang Thai. Angka-angka tersebut menjadi tidak berarti bila dibandingkan dengan statistik lalu lintas pariwisata dunia (tourist arrivals) yang pada tahun 1973 diperkirakan (IUOTO) 215 juta, atau kenaikan sebesar 9% dibandingkan dengan tahun 1972 (198 juta). Dengan dikemukakannya angka-angka tersebut dimaksud agar dapat dimaklumi di mana posisi Indonesia dalam konteks lalu lintas pariwisata dunia menjelang REPELITA II.
Dengan iklim umum yang semakin baik tersebut dan berkat pelbagai perangsang yang diberikan oleh pemerintah (UU PMA/PMDN, fasilitas-fasilitas kredit investasi) telah berhasil mendorong dengan pesat investasi di bidang perhotelan (Tabel I:
Jumlah investasi untuk bidang perhotelan meliputi Rp 85.179.275.917,46 (PMDN dan US$ 149.374.000,— (PMA). Sedangkan menurut lokasinya yang paling besar berada di Jakarta, yaitu US$ 101.894.000 (PMA) dan Rp 38.993.608.749,60 (PMDN) dengan jumlah 7.754 kamar (realisasi akhir tahun 1974 diperkirakan hanya mencapai ± 5.600 kamar). Dengan demikian apabila segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana (hal mana masih diragukan), maka pada akhir tahun 1974 di seluruh Indonesia akan terdapat 17.207 kamar hotel linvestasi baru dan perluasan) dengan standar internasional. Ini adalah suatu kemajuan yang sangat pesat jika diingat bahwa keadaan pada permulaan REPELITA I hanyalah tercatat sekitar 1.200 kamar hotel dengan standar internasional untuk seluruh Indonesia. Istilah “standar internasional” adalah istilah khas Indonesia berhubung hingga sekarang belum berhasil diadakan klasifikasi hotel sesuai dengan kelaziman internasional (kategori de luxe, kelas I, II, III ataupun sistim bintang).
Selain dari hotel-hotel dengan “standar internasional” tersebut terdapat pula tempat-tempat penginapan dengan kapasitas kamar 10 s/d 50 dan beberapa di antaranya memiliki 75 — 100 kamar (losmen-losmen, bungalow dll) yang di seluruh Indonesia meliputi 32.764 kamar. Tempat-tempat penginapan tersebut pada umumnya memiliki fasilitas minim, taraf hygiene yang kurang memenuhi syarat, lokasi yang kurang menguntungkan dan lemah dalam bidang managemen. Sungguhpun demikian dirasa perlu dikemukakan di sini, bukan saja dalam konteks kesempatan kerja tetapi juga mengingat potensinya yang besar datam rangka menunjang perkembangan pariwisata pada umumnya. Peningkatan fasilitas/mutu dari pada penginapan-penginapan tersebut akan berakibat positif dalam rangka pengembangan pariwisata domestik khususnya dan sekaligus memperbaiki posisi bersaing dari pada pengusaha lemah.
Tabel 1: Investasi Di Bidang Perhotelan Periode Repelita II
Daerah | Keadaan Tahun 1972 | Rencana Penambahan Tahun 1973 — 1974 | Jumlah Akhir 1974 | |||
yang sudah ada | Penambahan* | Jumlah | 1973 | 1974 | ||
Jumlah* | Jumlah* | |||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 |
DKI Jakarta | 2.095 | 1.584 | 3.679 | 2.148 | 1.930 | 7.757 ** |
Jawa Barat | 1.214 | 388 | 1.602 | 137 | 128 | 1.867 |
Jawa Tengah &DIY | 868 | 45 | 913 | 532 | 94 | 1.539 |
Jawa Timur | 472 | 77 | 549 | 250 | 627 | 1.426 |
BaIi | 824 | 167 | 991 | 942 | – | 1.933 |
Sumatera Utara, Barat, Selatan | 1.010 | 313 | 1.323 | 151 | 141 | 1.615 |
Sulawesi | 542 | — | 542 | 153 | — | 695 |
Kalimantan | — | 50 | 50 | 130 | — | 180 |
Irian Barat | 145 | — | 145 | 50 | — | 195 |
Jumlah | 7.170 | 1.820 | 9.794 | 4.493 | 2.920 | 17.207 |
Sumber : Ditjen Pariwisata.
Catatan : 1 Berdasarkan penanaman modal yang sudah disetujui per Mei 1973.
*Penambahan, meliputi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMON)
** Realisasi DK I Jakarta diperkirakan 5.600 pada akhir thn 1974.
Berdasarkan perbandingan antara jumlah kamar dengan personil untuk hotel-hotel dengan standar internasional di Indonesia umumnya adalah 2 : 1 sedangkan untuk tempat-tempat penginapan yang berada di bawah standar tersebut adalah 0,5 : 1, maka diperkirakan bahwa pada akhir tahun 1974 tenaga kerja di bidang perhotelan di Indonesia adalah sbb:
Hotel-hotel dengan standar internasional = 28.574
Tempat-tempat penginapan lainnya = 16.382
Jumlah = 44.956
Pada akhir tahun 1974 jumlah tersebut diperkirakan bertambah dengan 5.840 sebagai akibat dari penambahan 2.920 kamar hotel baru. Sekali lagi perlu ditandaskan disini bahwa angka-angka tersebut adalah berdasarkan perkiraan kasar, dan karenanya mutlak diperlukan penelitian lebih mendalam sebab ternyata bahwa rencana investasi adakalanya berhubung dengan satu dan lain hal tidak diteruskan atau dirubah dalam bentuk lain.
Selama REPELITA I Biro-biro Perjalanan dalam jumlah meningkat secara fantastis sekali, yaitu dari 46 Biro Perjalanan pada tahun pertama REPELITA I meningkat menjadi sekitar 250 pada permulaan tahun 1973. Kemudian sebagai hasil tindakan penertibart, (masih dalam proses) jumlah tersebut diperkirakan 140 dan terdapat kecenderungan untuk terus berkurang jumlahnya. Dalam fungsinya sebagai perantara, peranan Biro-biro Perjalanan dalam pengembangan pariwisata adalah vital. Namun berlainan halnya dengan hotel yang selain bersifat padat karya juga padat modal, membuka kantor Biro Perjalanan relatif tidak diperlukan modal besar, demikian juga jumlah personilnya. Sebaliknya faktor ketrampilan/keahlian personil yang jumlahnya sedikit tersebut sangat penting artinya. Berkembang biaknya Biro-biro Perjalanan disebabkan selain kecilnya modal kerja yang diperlukan juga disebabkan oleh perkembangan charter flights dan semakin bertambah banyaknya perusahaan-perusahaan penerbangan bukan anggauta IATA yang bersedia memberikan komisi berhubung semakin hebatnya persaingan. Selain dari itu juga disebabkan kesediaan Biro-biro Perjalanan yang mendapatkan pengakuan dari IATA untuk memberikan sebagian dari komisi yang mereka terima dari airlines anggauta IATA. Dengan demikian jumlah Biro Perjalanan yang banyak tersebut dalam kenyataannya adalah sub-agent dari pada Travel Agent yang sesungguhnya. Pada akhir tahun 1973 tercatat 23 Biro Perjalanan yang mendapatkan pengakuan dari IATA, sedangkan yarg berkantor Pusat di Jakarta dengan kantor-kantor cabang di daerah-daerah hanyalah 13 Biro Perjalanan yang jumlah personil sekitar 1200 orang.
Jumlah pramuwisata (guides) di Indonesia pada menjelang akhir tahun 1973 (Tabel 2) menunjukkan bahwa jumlah yang terbanyak adalah di Bali kemudian menyusul DKI Jakarta, Jogya, Sumatera Utara dan Jawa Tengah.
Tabel 2: Daftar Pramuwisata (Guides) Di. Indonesia
Daerah | Jumlah | Kemampuan Bahasa | |||||
Inggeris | Perancis | Jepang | Belanda | Mandarin | Jerman | ||
DKI Jakarta | 106 | 92 | 4 | 3 | 7 | — | — |
Jawa Tengah | 21 | 21 | — | — | — | — | — |
Jokyakarta | 77 | 661 | 4 | 7 | 9 | 1 | 2 |
Bali | 196 | 196 | — | — | — | — | — |
Sulawesi Utara | 7 | 7 | — | — | — | — | — |
Sumatera Utara | 45 | 44 | 1 | — | 1 | — | 2 |
Jumlah | 452 |
Sumber : Ditjen Pariwisata.
Keterangan : Satu orang ada yang menguasai dua bahasa utama.
Sebagian besar merupakan tenaga-tenaga kerja tetap dari Biro-biro Perjalanan sedangkan sebagian kecil free-lance. Selama periode REPELITA I di beberapa daerah telah dilakukan ujian-uji,an pramuwisata untuk mengarah kepada sistim licensing. D beberapa daerah bahkan telah dirintis pembentukan Himpunan Pramuwisata (Guides Association), tetapi sebegitu jauh masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sementara itu terdengar banyak keluhan dari wisatawan asing yang pada umumnya berkisar pada beberapa hal sbb:
– kurangnya kemampuan dalam menggunakan bahasa asing;
– kurang menguasai obyek-obyek yang diterangkan, dan
– kecenderungan dari para guides untuk membawa wisatawan ke toko-toko souvenir di mana mereka mendapatkan komisi, hal mana bukan saja merugikan fihak wisatawan tetapi juga Travel Agent dan lebih-lebih lagi produsen barang-barang souvenir.
Nyatalah bahwa untuk memperbaiki keadaan tersebut selain diperlukan pengaturan dan cara-cara pengawasannya (enforcement) juga diperlukan standardisasi dan peman-tapan pendidikan para pramuwisata tersebut.
Peranan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata dalam garis besarnya adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), memperluas pelbagai bentuk fasilitas, kegiatan koordinasi antara aparatur pemerintah dengan fihak swasta, pengaturan dan promosi umum ke luar negeri. Tidak dapat disangkal bahwa di hampir seluruh daerah di Indonesia terdapat potensi pariwisata; yang perlu diperhatikan adalah sarana angkutan, keadaan infrastruktur, dan sarana-sarana pariwisata yang menuju ke dan terdapat di daerah-daerah tersebut. Hal-hal inilah yang sesungguhnya menjadi pokok persoalan. Mengembangkan kesemuanya secara simultan adalah tidak mungkin karena untuk itu diperlukan biaya yang besar, padahal dana yang tersedia adalah terbatas. Karena itu pengembangan pariwisata haruslah berdasarkan skala prioritas. Pulau Bali telah ditetapkan sebagai prioritas utama mengingat bahwa Bali sudah cukup dikenal sehingga usaha-usaha “menjualnya” relatif tidak diperlukan biaya terlampau besar. Untuk itu telah disusun master plan pengembangan pariwisata Bali secara terperinci, antara lain pemilikan 348 ha tanah di Nusa Dua untuk dijadi kan sebagai resort centre. Atas dasar master plan tersebut disusun rencana investasi untuk infrastruktur dan sarana-sarana utama pariwisata lain, khususnya hotel-hotel yang pembiayaannya diperoleh dari Bank Dunia. Daerah-daerah prioritas pengembangan lainnya adalah Jawa (khususnya DI Yogyakarta dan Jawa Tengah), Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Pertimbangannya selain mengingat obyek-obyek pariwisata yang terdapat di daerah-daerah tersebut juga mengingat kondisi infrastruktur maupun sarana-sarana pariwisata lainnya masih terbatas pada rehabilitasi dan pemeliharaan obyek-obyek pariwisata. Dalam bidang institusionil pada permulaan REPELITA I telah dibentuk Direktorat Jenderal Pariwisata dalam lingkungan Departemen Perhubungan. Sedangkan di daerah-daerah, atas prakarsa daerah-daerah sendiri telah dibentuk Kantor Pariwisata Daerah (dengan nama Dinas, Badan atau Biro) dalam lingkungan kantor Gubernur Pemerintah Daerah setempat. Dalam hubungan ini, sama sekali lepas dari soal perlu atau tidaknya vertikalisasi, suatu aturan permainan atau mekanisme kerja antara Pusat dan daerah adalah mutlak diperlukan. Pengalaman selama periode REPELITA I menunjukkan bahwa hal ini perlu ditingkatkan.
Di sektor swasta selama REPELITA I juga dicatat kemajuan-kemajuan, khususnya dalam pembentukan organisasi perusahaan sejenis, misalnya untuk Hotel & Restoran: IHRA (Indonesian Hotel and Restaurant Association), untuk Biro Perjalanan: ASITA (Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies), ASEANTTA (Asean Tours and Travel Association) dan lain-lain. Mekanisme kerja antara fihak swasta dan pemerintah rasanya juga perlu ditingkatkan di masa mendatang.
Dalam hubungan internasional baik sektor pemerintah maupun swasta telah berhasil diciptakan hubungan kerjasama yang baik di tingkat regional maupun internasional (ASEAN, IUOTO, PATA, ASTA dll.).
Dinilai secara keseluruhannya, di samping kekurangan-kekurangannya, lumayan juga yang telah berhasil dicapai selama REPELITA I. Sungguhpun demikian masih lebih banyak lagi yang harus dikerjakan di masa mendatang, lebih-lebih lagi mengingat krisis enersi dan kekalutan ekonomi/moneter yang melanda seluruh dunia. Dapat dipestikan bahwa faktor-faktor tersebut akan membawa pengaruh negatif terhadap perkambangan pariwisata di Indonesia. Yang menjadi persoalan pokok dalam periode REPELITA II yang akan datang agaknya justru dengan cara bagaimana menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif tersebut.
Bagaimana proyeksi perkembangan pariwisata periode REPELITA II? Kenaikan kunjungan wisatawan asing diperkirakan meningkat dengan 16% per tahunnya. Dan bagaimana pula dengan proyeksi investasi? Seperti terlihat dalam Tabel I di atas maka volume investasi di bidang pariwisata, khususnya perhotelan, meningkat dengan pesat sekali dalam periode REPELITA I. Adakah kemungkinan grafik pertumbuhan semacam itu terulang kembali dalam periode REPELITA itu? Untuk itu perlu kita perhatikan bahwa sesungguhnya faktor-faktor penentu daripada pertumbuhan tersebut adalah pelbagai rupa fasilitas (PMA, PMDN, kredit bank dsb) yang diberikan oleh Pemerintah. Tanpa adanya perangsang-perangsang seperti itu tidak mungkin terjadi investasi yang sedemikian besarnya. Pada gilirannya pemerintah (khususnya fihak perbankan) akan menilai apakah kredit-kredit yang sudah dikeluarkan dapat kembali sesuai dengan jadwal. Apabila kelak ternyata bahwa pengembalian kredit-kredit tersebut tidak selancar sebagaimana diharap-kan maka dapat diperkirakan bahwa kredit-kredit baru akan menjadi seret. Oleh sebab itu dalam karangan ini tidak dipaparkan proyeksi investasi sebagaimana lazimnya, yaitu ditinjau dari segi perkiraan kebutuhan kamar (jumlah kamar hotel yang tersedia dibandingkan dengan jumlah tamu dan lama menginap). Untuk DKI Jakarta dan Bali digunakan proyeksi yang telah ada, sedangkan untuk daerah-daerah lainnya persentase pertambahannya diperkirakan sebesar 25% terhadap rencana investasi di daerah-daerah tersebut. Selama periode REPELITA I (dan bukannya yang direalisir, sebab akan jauh lebih rendah). Hal ini mengingat daya absorbsi yang pada umumnya rendah dari pada alokasi investasi selama periode REPELITA I. Sebagaimana dimaklumi dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan dan Surat Keputusan Menteri Keuangan tahun 1969 tentang Alokasi Prioritas dan Pembatasan Investasi di bidang perhotelan telah ditetapkan sbb: Jakarta dan Bali masing-masing 3000 kamar, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sumatera Utara 1.500 kamar sedangkan daerah-daerah lainnya 500 kamar.
Kenyataan (Tabel 1) menunjukkan bahwa hanya DKI Jakarta yang melampau alokasi tersebut. Daerah-daerah lainnya rata-rata kurang dari 50% (kecuali Jawa Barat yang mencapai ± 60%. Berdasarkan perkiraan tersebut maka diperoleh angka-angka investasi di bidang perhotelan untuk periode REPELITA II sbb:
— DKI Jakarta (rencana ’77, ’78, ’79) = 4.378 kamar
— Bali (proyeksi World Bank) = 1.850 kamar
— Daerah-daerah lainnya (25% terhadap total rencana investasi Repelita I) = 2.351 kamar
Jumlah = 8.579 kamar
Kebutuhan Tenaga Kerja di Bidang Pariwisata dan Permasalahannya
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, kebutuhan tenaga kerja pariwisata yang sangat menonjol adalah untuk bidang perhotelan. Selain dari itu juga yang paling rum : diatasi, disebabkan oleh sifat pekerjaan yang menuntut paduan antara pendidikan da-pengalaman. “Tourist boom” yang terjadi pada dekade akhir-akhir ini menjadika-masalah tersebut bersifat universil. Di manapun juga pada dewasa ini dibutuhkar tenaga-tenaga yang “skilled” dalam bidang perhotelan. Bahwasanya di Indones;a kebutuhan tersebut sudah menjadi urgensi dapat disimpulkan dari protes-protes tentang “pembajakan” personil hotel di waktu akhir-akhir ini dan dapat diramalkan akan terus didengar protes-protes semacam itu di masa-masa yang akan datang. Dengan perbandinga-antara jumlah kamar hotel dan personil 2 : 1, maka untuk 8.579 kamar dibutuhkar 17.158 personil baru selama periode 5 tahun yang akan datang. Dari jumlah tersebut 703, memerlukan pendidikan khusus (30% sisanya tidak memerlukan pendidikan khusus). Ha ini berarti bahwa dalam masa 5 tahun mendatang diperlukan pendidikan untuk 12.054 orang atau rata-rata 2.400 orang per tahunnya.
Agar didapatkan gambaran yang jelas, di bawah ini dipaparkan persentase komposisi sekedar sebagai indikasi umum sbb:
— Managerial staff 5%
— Upper-level technical staff 12%
— Middle-level staff 30%
— Basic-level staff 53%
Berdasarkan persentase komposisi di atas maka pendidikan yang harus disediakan selama periode 5 tahun mendatang (berdasarkan assumsi kebutuhan 12.054 orang) adalah sbb:
— Managerial staff 603 orang
— Upper-level technical staff 1.446 orang
— Middle-level staff 3.616 orang
— Basic-level staff 6.389 orang
Sebagaimana telah disebutkan di muka karir di hotel pada hakekatnya adalah paduan antara pendidikan dan pengalaman kerja. Implikasi selanjutnya ialah bahwasanya tidak mungkin begitu tamat sekolah kemudian langsung mendapatkan posisi tinggi dalam jenjang organisasi. Bahkan dalam hal ini pengalaman kerja ditambah taraf inteligensi yang wajar akan lebih dapat diandalkan untuk menduduki posisi pimpinan dari pada langsung tamatan sekolah. Ini berarti bahwa pendidikan yang mutlak harus diperoleh adalah pada , tingkat dasar (basic-level) sedangkan pendidikan untuk tingkat lebih tinggi akan dapat dilakukan sambil bekerja. Jadi apabila digunakan asumsi bahwa volume kebutuhan per tahunnya adalah tetap, maka setiap tahunnya perlu dididik 1.278 personil baru untuk bidang perhotelan. Belum lagi jika kita perhitungkan pula kebutuhan kursus-kursus penataran untuk meningkatkan kemampuan teknis pimpinan hotel-hotel kecil tersebut. Umpamanya 5% dari mereka (managerial staff) memerlukan kursus-kursus penataran, maka jumlahnya adalah 818 orang.
Jelaslah bahwa sifat pendidikan/latihan yang diperlukan haruslah berdasarkan spesialisasi dan bukannya melebar. Dan ini sangat tergantung dari fasilitas-fasilitas yang tersedia di sekolah (untuk pengajaran teori dan praktek) demikian pula kemampuan para pengajarnya. Dengan sendirinya jangka waktu pendidikannya tergantung pula dari faktor-faktor lengkap atau tidaknya fasilitas-fasilitas tersebut. Sebagai contoh dikemukakan sistim pendidikan/latihan perhotelan yang sedang dikembangkan di Pusat Pendidikan Perhotelan, Bandung. Spesialisasi dimulai dari tingkat bawah, dan semakin ke atas semakin melebar. Pendidikan/ latihan tingkat dasar untuk jurusan Housekeeping misalnya hanya diperlukan waktu 3 bulan, karena di sekolah tersedia demonstration rooms seperti di hotel; untuk jurusan Front Office dan Food & Beverage Service 6 bulan. Sedangkan untuk jurusan Kitchen diperlukan 12 bulan walaupun digunakan sistim audio-visuil secara intensif dan alat-alat praktek serba lengkap. Setelah tamat tingkat dasar mereka harus bekerja untuk jangka waktu tertentu (jurusan Housekeeping, Front Office and Food & Beverage Service selama 12 bulan sedangkan untuk jurusan Kitchen 6 bulan) baru kemudian dapat melanjutkan ke tingkat menengah (middle-level). Dengan sistim pendidikan sedemikian itu diharapkan dapat dicapai beberapa tujuan sekaligus, yakni:
1. Memperbesar output dan sekaligus meninggikan mutu;
2. Setelah tamat akan dapat langsung bekerja secara produktif (tentunya setelah melalui masa penyesuaian diri dalam waktu singkat);
3. Mereka akan dapat digunakan untuk tenaga pelatih (in-service training) dari personil-personil baru sehingga dengan demikian mampu membawa akibat berganca (multiplier effect);
4. Dalam jangka panjang akan dapat tercipta suatu mekanisme antara jenjang karir di perusahaan dan tingkat pendidikan.
Kebutuhan tenaga kerja untuk Biro-biro Perjalanan secara relatif adalah sedikit namun taraf ketrampilan teknis/ managerial adalah tinggi. Sesuai dengan volume kegiatannya, Biro-biro Perjalanan lazimnya diadakan penggolongan antara pedagang besar (Whosalers/Tour Operators ) dan pengecer (Retailer/Travel Agents). Di Indonesia keadaannya pada dewasa ini masih campur aduk sehingga mengakibatkan kekaburan fungsi. Dan selanjutnya menyebabkan merajalelanya sub agen yang menjurus ke arah avonturisme. Adapun taraf ketrampilan/keahlian yang diperlukan sesuai dengan jenjang tingkat dan fungsinya sekedar sebagai indikasi adalah sbb:
I. Technicians
— counter staff
— ticket issuing clerks
— inclusive tour clerks
— sales promotors
II. Executives
— heads of departments
— advertising executives
— technical directors
III. Researchers and directors
— economists
— marketing specialists.
Diperkirakan bahwa minimal 10% dari personil Tour Operators/Travel Agents di Indonesia, yaitu sekitar 120 orang, memerlukan kursus-kursus penataran, terutama untuk kategori pertama (Technicians). Pertambahan personil baru per tahunnya jumlahnya kecil sekali. Jadi masalah utamanya adalah penataran personil yang sudah bekerja.
Pramuwisata (guides) sebagaimana telah dikonstatir di muka, dari jumlah yang sudah ada masih perlu ditingkatkan mutunya. Berkembang biaknya berbagai daerah tujuan wisata di Indonesia menuntut tersedianya pramuwisata yang bermutu tinggi. Dan ini, selain menyangkut masalah kemampuan, juga kelakuan (behaviour) dari para pramuwisata tersebut. Peningkatan jumlahnya bukanlah merupakan masalah yang berat untuk diatasi. Salah satu diantaranya ialah merekrut mahasiswa-mahasiswa, terutama jurusan bahasa asing. Mereka ini dalarn waktu singkat dapat diajarkan tehnik-tehnik memberi penerangan (guiding techniques) dan diadakan ujian-ujian resmi secara berkala oleh Dinas Pariwisata di daerah.
Tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan adalah pendidikan/kursus-kursus untuk pejabat-pejabat pemerintahan dalam bidang pariwisata (pusat dan daerah-daersh Selarna ini pendidikan/kursus-kursus untuk itu dilaksanakan dengan memanfaatka-bantuan-bantuan teknik dari luar negeri (dari UNDP ataupun bilateral, walaupun jumlahnya sedikit dan terbatas untuk pejabat-pejabat senior saja. Dewasa ini sudah semakin terasa perlunya diadakan kursus-kursus penataran bagi pegawai golongan menengah. Bukannya kursus-kursus managemen umum, tetapi teknis pariwisata (penelitian, perencanaan, publikasi, pengaturan dsb). Kursus-kursus penataran ini diperlukan bukan saja untuk meningkatkan kemampuan teknis tetapi terutama sekali adalah untuk mendapatkan kesatuan bahasa antara aparatur pariwisata di pusat dan di daerah-daerah.
Masalah-masalah Pokok dan Cara-cara Pendekatan
Masalah pokok yang menyangkut bidang perencanaan dan pengembangan tenaga kerja yalah: bagaimana menciptakan sinkronisasi antara industri pariwisata sebagai konsumen tenaga kerja dengan lembaga-lembaga pendidikan yang bertugas sebagai pembina dan produsen tenaga kerja. Dari masalah pokok diatas dapat disebut pula beberapa masalah penting antara lain:
1. Jenis keahlian yang bagaimanakah yang dibutuhkan oleh berbagai jenis industri pariwisata dan pemerintah untuk jangka pendek dan jangka panjang, dari segi kwantitas dan kwalitas.
2. Bagaimana lembaga pendidikan seharusnya mempersiapkan tenaga kerja terdidik dan terlatih, sehingga dapat memenuhi tuntutan fihak konsumen. Masalah ini selanjutnya menyangkut masalah kurikulum, materiil, keuangan dan tenaga ahli.
3. Bagaimana kita dapat menciptakan sistim dan prosedur distribusi serta penempatan tenaga kerja, sehubungan dengan kebutuhan saat kini dan masa depan sesuai dengan prospek perkembangan pariwisata di Indonesia.
Di atas telah dikemukakan bahwa pendidikan pariwisata (khususnya perhotelan) agar dapat efektif terhadap kebutuhan riil dari para konsumen, haruslah bersifat kejuruan (spesialisasi) dan bukannya melebar. Namun untuk itu diperlukan fasilitas yang serba lengkap dan tenaga-tenaga pengajar yang memenuhi syarat. Dari Tabel 3 dibawah terlihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan pariwisata milik swasta pada umumnya (63%) berbentuk akademi.
Tabel 3: Data Tentang Lembaga Pendidikan Pariwisata
Daerah | Status | Jumlah Mhs/Siswa | Jumlah Lulusan | |||
Akademi | Lain-lain | Mahasiswa | Siswa | Mahasiswa | Siswa | |
DKI Jakarta | 9 | 7 | 947 | 221 | 113 | 753 |
Bandung | 2 | 1 | 57 | 120 | 250 | 1.600 |
Semarang | 2 | — | — | — | — | — |
Jokya | 1 | 1 | 96 | — | — | — |
Surakarta | 1 | — | — | — | — | — |
Surabaya | 1 | — | 142 | — | 6 | — |
Bali | 2 | 5 | — | 150 | — | 400 |
Medan | 1 | — | — | — | — | — |
Sumber : Ditjen Pariwisata
Keterangan Per Desember 1973 baru sekitar 40% memberikan data.
Pendirian akademi-akademi tersebut memang dimungkinkan dalam rangka Undang-Undang No. 22/1968 tentang Perguruan Tinggi. Yang menjadi masalah ialah apakah bentuk akademi tersebut relevan dengan kebutuhan? Dengan beberapa perkecualian, ternyata bahwa untuk menutupi kebutuhan personil tingkat dasar pengusaha-pengusaha hotel cenderung untuk merekrut personil dengan cara mereka sendiri untuk kemudian diberikan “in service training” oleh beberapa tenaga ahli (hasil comotan dari hotel lain atau mendatangkan dari luar negeri). Sudah tentu cara rekrutmen sedemikian itu tidak memberikan jaminan mutu ketrampilan yang tinggi. Bagi mereka sama sekali tidak relevan apakah seseorang berijazah akademi atau tidak. Yang penting bagi mereka (dan mereka benar) ialah apakah dapat bekerja atau tidak. Sekali lagi dengan beberapa pengecualian, lembaga-lembaga pendidikan pariwisata khususnya perhotelan milik swasta menghadapi kesulitan-kesulitan sbb:
1. Kekurangan tenaga-tenaga pengajar kejuruan (hampir seluruhnya adalah tenaga-tenaga part-timers, yaitu karyawan-karyawan hotel);
2. Kekurangan peralatan dan fasilitas untuk praktek dalam sekolah sehingga mereka dapat tergantung dari belas kasihan hotel-hotel untuk mendapatkan tempat praktek bagi para siswanya (untuk itu mereka harus bayar).
Sebagaimana dikonstatir di muka, guna memenuhi kebutuhan akan personil yang memenuhi syarat pada taraf pertama para pengusaha hotel baru melakukannya dengar, cara mencomot personil-personil yang telah berpengalaman dari hotel-hotel lain. Praktek seperti itu tentunya tidak dapat berjalan terus menerus, sebab para pengusaha yang sudah mapan (established) segera mengadakan tindakan-tindakan preventif. Disebabkan oleh kebutuhan yang sangat mendesak maka umumnya mereka mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari luar negeri. Dalam Tabel 4 dapat dilihat bahwa hampir separoh dar tenaga-tenaga asing tersebut menduduki posisi pimpinan (managerial staff) dan menurut keahliannya sebagian terbesar adalah hotel/restoran. Jumlah tersebut dalam tahun ir diperkirakan akan meningkat sedikitnya 50%. Terlepas dari kecenderungan “franchising” untuk hotel-hotel besar, pengimporan tenaga-tenaga ahli asing tersebut memang berdasarkan faktor obyektif: kita kekurangan tenaga ahli dalam bidang ini.
Tabel 4: Tenaga-tenaga ahli asing yang telah mendapatkan rekomendasi dari Ditjen Pariwisata th 1973
Jenis Perusahaan | Management | Food & Beverage | F.O. | Engineer | Jumlah |
Hotel | 59 | 31 | 5 | 11 | 106 |
Restaurant | 8 | 34 | — | 1 | 43 |
Entertainment | 2 | — | — | — | 2 |
Travel Agent | 1 | — | — | — | 1 |
Jumlah | 70 | 65 | 5 | 12 | 152 |
Sumber : Direk orat Jendral Pariwisata.
Dari uraian-uraian di muka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya lembaga-lembaga pendidikan pariwisata, khususnya perhotelan, baik ditinjau dari segi kwalitas maupun kwantitas (output) masih belum memenuhi kebutuhan riil sebagai konsekwensi lagis daripada perkembangan pariwisata. Selain itu, istilah “Akademi” itu sendiri mengandung konotasi gelar-gelar semi akademis, dus mengandung pengertian “white collar”. Sehingga manakala mereka tamat dan kemudian harus memulai karir dari tingkat bawah maka otomatis menimbulkan frustrasi. Lebih-lebih lagi jika masih harus mencari pekerjaan dan mesti menempuh testing. Perlu ditandaskan di sini timbulnya prakarsa untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk sebagian adalah merupakan manifestasi dinamisme masyarakat dalam menghadapi perkembangan pariwisata. Di sini pulalah terletak salah satu inti permasalahannya, yaitu untuk membedakan mereka yang bermotif positif dan yang semata-mata komersiil yang menjurus ke arah avonturisme pendidikan. Kecenderungan-kecenderungan kearah itu mutlak harus dicegah, karena bukan saja tidak relevan dengan kebutuhan riil tetapi juga demi kepentingan masyarakat pada umumnya dan anak-anak didik khususnya.
Penutup
Perkembangan pariwisata berpengaruh positif dalam rangka perluasan kesempatan kerja, khususnya bidang perhotelan, adalah bersifat padat karya. Namun demikian tenaga kerja yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki ketrampilan teknis dan manager.ai know-how. Untuk itu diperlukan pendidikan kejuruan yang efektif. Berhubung investasi yang diperlukan sangat besar (gedung, peralatan, tenaga ahli) maka ditinjau dari segi komersiil semata-mata adalah tidak menguntungkan.
Khususnya untuk pendidikan kejuruan perhotelan Pemerintah telah merintis dengan membuka Pusat Pendidikan Perhotelan di Bandung guna mendidik tenaga-tenaga tingkat dasar, menengah dan tinggi. Juga pendidikan khusus untuk calon-calon pengajar. Tetapi pusat pendidikan semacam yang terbatas untuk pendidikan tingkat dasar dalam waktu dekat akan dimulai di Bali. Pusat-pusat Pendidikan Perhotelan milik Pemerintah tersebut mengutamakan segi kwalitas dari pada kwantitas, sebab dimaksudkan justru untuk mengcmbangkan akibat ganda (multiplier effect). Selain penonjolan segi kwalitas, dengan sistim pendidikan bertahap (tingkat dasar, menengah dan tinggi) sekaligus juga memperbesar jumlah output.
Tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan pariwisata khususnya perhotelan milik swasta pada umumnya dapat disimpulkan sebagai manifestasi dari dinamisme masyarakat dalam menanggapi kebutuhan akan tenaga-tenaga trampil/ahli dalam bidang ini. Namun demikian perlu diberikan pengarahan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi secara efektif. Untuk itu secara selektif Pemerintah dapat memberikan bantuannya. Kecenderungan untuk mendirikan akademi-akademi sebaiknya dihentikan dan sekaligus mengarahkan kurikulum pada pembentukan ketrampilan sesuai dengan fasilitas pen-didikan.yang tersedia.
Kebutuhan tenaga trampil/ahli dalam bidang perhotelan adalah demikian besar, sehingga tidak mungkin sepenuhnya ditempuh melalui pendidikan formil. Dan itulah yang telah terjadi selama ini, yaitu untuk sementara waktu (tetapi secara sadar) lebih dipentingkan kwantitas dari pada kwalitas. Namun demikian, mengingat mutu servis termasuk faktor utama dalam usaha mengembangkan pariwisata, kekurangan-kekurangan yang dialami selama ini harus dikejar. Misalnya melalui “licencing system” Dengan demikian sekaligus akan dapat diciptakan mekanisme antara karir di perusahaan dan syarat-syarat pendidikan.
Fihak konsumen (industri pariwisata umumnya) perlu menyadari bahwa kelak apabila persaingan sudah semakin meningkat, faktor mutu dari pada servis akan bersifat menentukan. Karena itu, pengeluaran dana untuk keperluan pendidikan personilnya haruslah dipandang sebagai suatu investasi yang mutlak perlu dilakukan demi kelang-sungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Kerja sama horizontal antara instansi Pemerintah dan instansi-instansi Pemerintah dengan sektor swasta melalui Himpunan Perusahaan-perusahaan Sejenis di masa mendatang perlu ditingkatkan dengan tujuan untuk memperbesar kesempatan kerja sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari pada perkembangan pariwisata.
Daftar Bacaan :
Baroncini, G.L., Methods for Assessing Training Requirements and Their Application, Nairobi 1972.
Chau, Lawrence, An Econometric Model for Forecasting lncome & Employment in Hawaii, Honolulu, 1970.
Hasibuan, Sayuti: “Pertumbuhan Penduduk, Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja” dalam Ekonomi dan Keuangan lndonesia, Juni 1973.
Hartono, Hari: “Approche indonesienne du probleme de la formation professionelle du tourisme”, dalam Revue de Tourisme, Berne, Janvier/mars 1972.
IUOTO: Press Release: PR/0164, 1973.
———————————
HARI HARTONO, lahir di Surabaya tahun 1932, adalah Kepala Lembaga Pendidikan & Penelitian Pariwisata, Direktorat Jenderal Pariwisata, Departemen Perhubungan Rl. Sebelumnya (1953-1956) adalah staf lokal bagian Penerangan Kedutaan Besar RI di Bern (Swiss); kemudian bekerja pada Travel Department, Clarkson, Air & Shipping Company di London (1961), Kepala Bagian Perhotelan pada Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata (1961-1964) dan Direktur Akademi Perhotelan Nasional di Bandung (1964-1966). Memperoleh pendidikan pada Fakultas Ekonomi Universitas Bern (1954-1956) dan gelar sarjana dalam bidang pariwisata dari Handels-Hochschule, St. Gallen, Swiss (1960). Ikut dalam berbagai aktivitas ilmiah, antara lain ASEAN Permanent Committee on Tourism, Sub Committee on Research and Development, International Union of Official Travel Organization (IUOTO) dan anggota Association internationale d’experts scientifiques du Tourism. Menulis sejumlah tulisan, antara lain “Beberapa Pemikiran Tentang Pengembangan Sektor Pariwisata di Indonesia” (Jakarta, 1969). “Tourism Development in Indonesia and the demand for Skilled Manpower” (Jakarta, 1971); “Approche indonesienne du probleme de la formation professionille du tourisme” (Berne 1972), serta sejumlah artikel mengenai pariwisata pada beberapa surat kabar di Jakarta (1969-1970).
Sumber: Jurnal Prisma, No. 1 Tahun III Februari 1974