Tidak bisa dibayangkan jika di tahun 2021 ini ada orang yang mengundang kita untuk meghadiri sebuah hajatan secara lisan. Orang jaman sekarang memorinya sudah dipenuhi berbagai hal yang harus diingat-ingat. Oleh sebab itu betapa besarnya peran aplikasi reminder atau pengingat yang terinstal di gadget yang tidak pernah lepas dari tangan kita. Dalam keseharian orang di jaman sekarang sangat banyak elemen yang harus disimpan dalam memori. Karena memori manusia sangat terbatas sehingga perlu bantuan alat reminder agar tidak ada agenda yang terlewatkan.
Sehingga bisa dibayangkan betapa aneh ada undangan yang disampaikan secara lisan, pasti resikonya untuk lupa sangat besar. Jika Anda menerima undangan untuk menghadiri sebuah hajatan yang digelar oleh kerabat berarti Anda harus mengingat beberapa poin sekaligus. Pertama nama orang yang mengundang, kemudian hari dan tanggal serta jam pestanya. Terakhir lokasi pesta. Jika itu terjadi di jaman sekarang tidak ada masalah. Undangan tersebut tinggal dijadwalkan di aplikasi reminder agenda di telepon pintar milik kita. Nanti sehari sebelum hari-H akan muncul notifikasi yang mengingatkan kita sehingga tidak ada istilah kelupaan atau terlewatkan.
Namun di kalangan masyarakat yang tinggal di kawasan Lereng Lawu pada periode tahun 1970-an, masa yang belum ada teknologi reminder, telah berlaku undangan untuk menghadiri suatu hajatan atau pesta pernikahan yang digelar oleh kerabat atau tetangga dimana undangannya disampaikan secara lisan yang dikenal dengan istilah warahan. Bagi yang belum mengerti permasalahannya pasti akan mengira kalo memori masyarakat Lereng Lawu sangat kuat sehingga mampu merekam banyak elemen di tengah banyakya elemen lain yang juga perlu diingat.
Masalah yang diangkat dalam tulisan kali ini bukan masalah kekuatan memori masyarakat dalam mengingat suatu agenda yang harus dihadiri. Tetapi terkait masalah tradisi dan kultur yang berlaku di lingkungan masyarakat Lereng Lawu, yang rentetannya pernah dibahas dalam artikel lain di rubrik yang sama.
Dalam lingkungan masyarakat Lereng Lawu adanya momen hajatan di suatu kampung merupakan kesempatan yang paling dinanti-nantikan oleh setiap orang. Karena itulah momen dimana orang berkesempatan untuk mencicipi makanan lezat dan sekaligus mendapatkan hiburan yang bisa berupa pentas wayang kulit atau sekedar pagelaran musik gamelan yang dikenal dengan nama klenengan. Momen demikian merupakan momen yang sangat menyenangkan setelah orang melewati hari-hari yang penuh dengan kerja melelahkan sebagai tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Untuk mendeteksi kapan akan datang momen hajatan, orang mulai mendata siapa saja pemudi atau bisa juga pemuda lajang warga kampung yang akan segera dinikahkan. Jika ada bocoran kabar contohnya tentang seorang pemudi puteri dari si fulan baru saja ketemu jodoh dan akan dinikahkan maka beritanya akan secepatnya tersebar dari mulut ke mulut ke seluruh antero kampung. Termasuk kampung sebelah. Bahkan ketika baru ada pembicaraan tertutup antara keluarga calon penganten wanita dan pihak calon mempelai laki-laki untuk menentukan hari, tanggal, dan bulan digelarnya pesta pernikahan biasanya hasil pembicaraan tersebut langsung bocor tanpa bisa dicegah meskipun isi pembicaraan kedua belah pihak bersifat rahasia. Setiap orang warga kampung sudah tahu bahwa si gadis A akan menikah dengan pemuda fulan pada tanggal sekian, bulan sekian dan tahun sekian. Jika orang tua dari pemudi tersebut kebetulan keluarga kaya di kampung itu jadi kabar baik karena pasti pesta pernikahan yang akan digelar akan sangat mewah, durasi pesta lebih lama, kualitas hidangan atau makanan pasti akan lebih lezat, seandainya ada pentas wayangan dalang yang akan ditanggap pasti dalang kondang yang taripnya mahal sehingga kalo sohibul hajat orang miskin tidak akan mampu membayarnya. Hal-hal demikianlah yang membuat daya tarik orang sekampung. Setiap orang langsung menuliskan hal tersebut dalam memori ingatan mereka tentang akan datangnya sebuah momen yang ditunggu-tunggu.
Tahapannya dimulai dengan rapat persiapan oleh calon sohibul hajat yang dihadiri banyak warga. Yang dibicarakan dalam rapat antara lain pemberitahuan dari tuan rumah bahwa dia akan menikahkan puterinya yang akan dimeriahkan dengan pesta. Kabar yang sebenarnya sudah diketahui oleh semua orang. Selanjutnya adalah pembagian tugas dan menentukan time schedule. Pembagian tugas meliputi semua aspek even. Siapa bertugad sebagai penerima tamu, siapa sinoman atau pramusaji, siapa petugas kebersihan, siapa pembuat minuman teh, siapa memasak. Untuk memasak sudah pasti pekerjaan aksklusif ibu-ibu yang memiliki keterampilan. Dan semua yang ditunjuk untuk mengerjakan tugas akan melakukan tugasnya dengan penuh semangat dan hati gembira. Secara kronologis, ada tiga tahap pekerjaan yaitu pekerjaan pra-even, pekerjaan saat berlangsungnya even, dan pekerjaan pasca-even. Salah satu pekerjaan atau tugas-tugas pra-even adalah penyebaran undangan.
Undangan biasanya disebar sekitar sepuluh hari sebelum hari-H. Lazimnya ada dua macam undangan yaitu undangan lisan yang disebut warahan dan undangan tertulis yang disebut surat ulem. Lalu muncul pertanyaan kenapa undangan tidak disebarkan lewat media berupa surat ulem semuanya saja biar praktis. Andalan sampainya undangan kepada target yang sudah ditentukan adalah dengan metode undangan secara lisan. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1970 – an tradisi baca tulis di kawasan Lereng Lawu belum berkembang. Biasanya yang mengerti baca tulis hanya di kalangan generasi muda. Itupun tidak semuanya. Dalam sebuah keluarga belum tentu ada yang bisa baca tulis. Maka seandainya semua undangan disampaikan lewat surat ulem maka bisa jadi yang menerima keluarga buta huruf. Oleh karenanya warahan menjadi metode andalan yang dipakai.
Beberapa tahun kemudian ketika tradisi baca tulis sudah berkembang dimana hampir setiap keluarga ada satu atau dua orang yang bisa membaca diberlakukan dua jenis undangan sekaligus. Siapa yang diundang secara tertulis dan siapa yang secara lisan? Adakalanya sudah ditetapkan target kelompok tertentu diundang secara lisan dan target sisanya secara tertulis. Seseorang yang diundang secara lisan menurut istilah lokal disebut “diwarah” sedangkan yang tertulis “diulemi.” Juga pernah suatu ketika ada kasus seseorang sudah diulemi tapi juga diwarah sekaligus. Pernah pula dibuat dokotomi untuk untuk target orang-orang sekitar diundang dengan cara warahan dan untuk target yang lebih jauh, misalnya warga kampung lain dengan cara ulem. Maka pada masa itu sering ada dialog: “Kamu diwarah ke hajatan Pak X?” lalu dijawab: “Aku tidak diwarah, tapi diulemi.”
Pada masa dimana tradisi baca tulis sudah sangat berkembang dimana hampir setiap keluarga ada anggotanya yang bisa baca tulis, mengundang hajatan dengan cara warahan tetap menjadi pilihan utama daripada uleman. Penyebabnya adalah pada masa itu belum ada jasa percetakan atau sablon yang bisa mencetak surat ulem seperti jaman sekarang. Tidak seperti selembar surat ulem jaman sekarang sudah berisi informasi yang lengkap tentang suatu even hajatan, mulai dari nama sohibul hajat, tanggal dan bahkan jamnya, hari, bulan dan lokasi hajatan atau “venue-nya.” Surat ulem yang dikenal di kawasan Lereng Lawu kala itu berupa blangko kosong yang banyak dijual di pasar Karangpandan atau Solo yang baru berisi template undangan. Sehingga sebelum mengirimkan undangan ada pekerjaan besar untuk menulis kolom-kolom yang masih kosong mulai dari nama sohibul hajat, nama mempelai wanita dan pria, tanggal dan hari hajatan, alamat sohibul hajat atau lokasi hajatan. Bayangkan jika harus mengirim 100 eksemplar surat ulem. Berarti ada pekerjaan mengisi atau menulisi 100 lembar surat ulem. Biasanya untuk mengisi sekian banyak surat ulem dikerahkan banyak tenaga yang dipilih berdasarkan bagus atau tidaknya tulisan tangannya. Bagaimanapun juga cara ini masih ada kelemahannya. Menuliskan beberapa informasi di kolom kosong surat ulem secara ramai-ramai beresiko ada kesalahan penulisan. Sebuah kesalahan dalam penulisan selembar ulem bisa mengakibatkan terjadinya disinformasi bagi penerimanya. Belum lagi soal gaya penulisan tangan yang tidak seragam. Dan masih ada beberapa faktor kelemahan lainnya. Sampai di sini Anda paham kenapa mengundang secara tertulis tidak praktis pada masa itu.
Dengan adanya pertimbangan di atas maka ketika orang menggelar hajatan maka mengundang secara warahan menjadi andalan tersampaikannya pesan kepada orang-orang yang diundang. Oleh sebab itu pada saat pembagian tugas untuk tahap pra-even, memilih orang yang ditugasi untuk marah menjadi hal yang penting. Kata “marah” berarti menyampaikan pesan undangan dari sohibul hajat kepada target yang sudah ditetapkan. Harap tidak dikacaukan kata “marah” disini dengan kata yang sama yang bersinonim “naik pitam.”
Jumlah orang yang ditugaskan sebagai juru warah tergantung luasnya area target yang akan diundang. Jika sohibul hajat bermaksud mengundang seluruh penduduk kelurahan yang terdiri dari beberapa dusun maka akan ditugaskan empat atau lima orang juru warah. Satu orang juru warah bertanggungjawab untuk marah satu atau dua dusun. Berarti harus keluar masuk ke seluruh rumah warga dusun tersebut tanpa kecuali. Tidak seperti tugas pekerjaan lain, tidak sembarang orang yang bisa dipilih sebagai juru warah. Juru warah biasanya dipilih orang yang tutur katanya lembut dan sopan, terampil berbicara, penampilan menarik, berpakaian rapi dan necis saat menjalankan tugasnya. Catatan, juru warah setahu penulis selalu laki-laki, belum pernah ada wanita bertindak sebagai juru warah. Dalam menjalankan misinya seorang juru warah setiap datang ke rumah target dia mengucapkan pesan yang redaksi kalimat selalu sama dari rumah ke rumah. Tidak boleh merubah susunan kalimat pesan meskipun informasi yang disampaikan tidak salah. Sehingga seorang juru warah wajib menghapalkan isi pesan yang redaksi kalimatnya sudah diajarkan sesuai permintaan sohibul hajat agar bisa menyampaikan pesan dengan baik dan benar. Seperti apakah pesan yang diucapkan oleh seorang juru warah? Biasanya sudah ada template pesan standar yang biasa berlaku pada masa itu, sebagai ilustrasi saat juru warah mendatangi sebuah rumah target kemudian dia dengan sikap yang penuh sopan santun mengetuk pintu atau kulonuwun yang merupakan sapaan khas lokal saat orang bertamu, setelah dipersilakan masuk dan duduk juru warah tidak boleh berbasa-basi dulu tetapi harus to the point, diucapkan dalam bahasa Jawa yang halus atau kromo inggil kurang lebih seperti berikut: Saya datang kemari diutus oleh Bapak Ibu Si Fulan bahwa dengan penuh takdhim Anda diundang untuk datang ke rumah beliau pada hari x tanggal sekian bulan sekian untuk menyaksikan pernikahan putri beliau atau bisa juga khitanan putra beliau. Kehadiran Anda sangat ditunggu dan merupakan kehormatan bagi Bapak-Ibu si Fulan. Di pihak target yang diundang juga ada kebiasaan yang berlaku saat menerima kedatangan seorang juru warah. Juga ada redaksi kalimat standar untuk menjawab ucapan juru warah, seperti contoh: Saya sangat gembira dan berterima kasih yang sebesar-besarnya atas undangan yang disampaikan kepada saya. Mohon disampaikan kepada Bapak-Ibu Si Fulan jika tidak ada aral melintang saya akan datang menghadiri hajatan yang beliau gelar.
Biasanya seorang juru warah juga tidak dibenarkan bercakap berlama-lama di rumah target. Setelah selesai menyampaikan pesan itu dia harus segera pamit karena tentunya dia segera melanjutkan tugasnya menyampaikan pesan ke target-target berikutnya. Apalagi jika tugasnya di area yang luas berarti dia harus mendatangi puluhan bahkan bisa lebih seratus rumah target. Sehingga dia harus pandai membatasi setiap kunjungan ke target durasinya harus sesingkat mungkin. Pihak target juga maklum dengan kebiasaan seperti ini. Kalaupun masih ada dialog singkat biasanya pihak target meminta mengulang beberapa poin informasi yang kurang jelas, misalnya memastikan tanggal dan hari pasaran berlangsungnya tanggal pesta hajatan tersebut. Tidak seperti saat menyambut kunjungan tamu-tamu pada umumnya tuan rumah target juga tidak menyuguhkan makanan saat menyambut kedatangan juru warah. Kalaupun memberikan suguhan paling hanya berupa segelas minuman berupa teh manis. Minuman suguhan yang paling lazim.
Hal yang menarik, orang tidak pernah mencatatnya di buku agenda things-to-do —seandainyapun sudah ada buku semacam itu— semua informsi terkait undangan menghaidiri acara hajatan yang dia terima. Karena pada dasarnya ketika seorang warga dusun akan menggelar suatu hajatan berupa pernikahan atau khitanan anaknya kabar tersebut sebenarnya sudah tersebar kemana-mana meskipun tidak ada pengumuman ataupun undangan. Informasi tentang jadwal akan berlangsungnya pesta hajatan, mulai tanggal dan harinya sudah dihapal di luar kepala di memorinya setiap orang. Kedatangan seorang juru warah atau selembar surat ulem yang diterimanya hanyalah merupakan sebuah formalitas.
Meskipun demikian sebenarnya itu melibihi dari sekedar formalitas ketika seseorang diulemi ataupun diwarah. Seseorang yang diundang untuk menghadiri hajatan baik dengan cara diwarah maupun diulemi berarti eksistensinya diakui yang berarti kehadirannya untuk ikut bersenang-senang dan merasakan segala kenikmatan dan menikmati hiburan yang ada terbuka serta absah.
Demikianlah fenomena yang terjadi di masa lalu kalau tanpa penjelasan yang komprehensif susah dipahami pada waktu kini.