Dalam khazanah keluarga ada saat indah dimana seluruh anggota keluarga berkumpul. Ada yang menyebut momen ini dengan istilah prime time. Ada juga yang menyebut dengan golden moment. Apapun istilahnya yang pasti inilah momen menggembirakan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Terjadinya momen ini berbeda-beda setiap keluarga. Namun pada jaman sekarang mayoritas momen ini jatuh pada saat makan malam atau sesaat sesudahnya. Momen seperti ini tidak terjadi pada saat makan pagi atau sarapan dan juga tidak pada makan siang. Karena pada kedua momen yang disebutkan terakhir ini seringnya anggota keluarga yang hadir tidak lengkap karena di saat makan pagi sang ayah bisa jadi sudah berangkat kerja lebih awal. Atau kalaupun masih ada ayah di rumah tapi anak-anak sudah keburu berangkat ke sekolah. Pada saat makan siang lebih jarang lagi ada kesempatan seluruh keluarga berkumpul secara lengkap, kecuali hari libur. Maka waktu mayoritas seluruh seluruh anggota keluarga bisa berkumpul secara lengkap setiap hari adalah pada saat makan malam atau sesaat sesudahnya.
Saat makan malam adalah saat paling menggembirakan. Sambil menyantap hidangan lezat hasil masakan sang ibu setiap orang saling curhat dunianya masing-masing. Si kecil dengan gayanya yang khas bercerita pengalamannya di sekolah. Sang kakak yang sudah bekerja tak ketinggalan mendapat giliran bercerita tentang suasana kerja. Semua orang mendapat kesempatan untuk mengungkapkan perasaan masing-masing. Diselingi canda tawa nan seru. Biasanya ketika santap malam selesai kehangatan kumpul keluarga rutin ini berlanjut di ruang keluarga sambil nonton tv. Semakin malam suasana jadi bertambah seru dan meriah. Keceriaan ini baru mulai surut tatkala si adek harus mengerjakan tugas sekolah untuk diserahkan kepada pak guru keesokan harinya. Dan ada beberapa orang yang sudah mulai mengantuk. Suasana kehidupan semacam ini umum ditemui pada mayoritas keluarga jaman sekarang baik yang tinggal di perkotaan maupun di kawasan pedalaman. Suasananya tak jauh berbeda.
Namun Anda jangan harap menemukan kebiasaan di waktu yang sama seperti digambarkan di atas pada kalangan masyarakat yang tinggal di kawasan lereng barat Gunung Lawu, khususnya pada dekade 70 dan 80-an. Kondisi alam, pola pikir masyarakat, tradisi, kebiasaan hidup sehari-hari serta budaya lokal membuat beberapa kebiasaan masyarakat lereng Lawu berbeda dengan warga di tempat-tempat lain. Perbedaan ini termasuk pada perbedaan kebiasaan waktu berkumpulnya seluruh anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan warga yang tinggal di kawasan-kawasan lain, keluarga masyarakat lereng Lawu justru bisa Anda temui bisa terkumpul dengan lengkap yaitu saat dimana seluruh anggota keluarga hadir adalah pada pagi hari sekitar beberapa saat setelah waktu shubuh. Yaitu saat sebelum setiap orang berpencar menjalani aktivitas mereka masing-masing. Dan ruangan tempat mereka berkumpul bukan di ruang makan juga bukan ruang keluarga. Akan tetapi di dapur, lebih tepatnya di depan tungku pendiangan.
Setiap pagi, saat masih pagi buta, yang pertama dilakukan oleh sang ibu adalah menyalakan tungku yang menurut istilah setempat disebut “pawon,” dengan kayu bakar, yang sering sudah disiapkan pada sore hari sebelumnya. Selain untuk memasak nasi si Ibu juga memanaskan lagi sisa lauk-pauk makan malam kemarin. Tidak lama kemudian, ketika api sudah mulai membesar satu persatu anggota keluarga yang baru bangun tidur langsung menuju ke dapur. Bagi keluarga yang taat beragama tentu menjalankan sholat shubuh dulu baru kemudian bergabung dengan yang lain ke pawon. Anda mungkin bertanya mengapa semua orang di sana suka berkumpul di ruang dapur di depan pawon. Kawasan lereng Lawu merupakan dataran tinggi sekitar 700 meter di atas permukaan laut, sehingga udara sangat dingin. Di siang haripun terasa dingin apalagi di pagi hari. Dan dalam udara dingin seperti ini satu hal yang paling nyaman dilakukan setiap orang di sana adalah menghangatkan badan dengan cara duduk di dekat tunggu. Menghangatkan badan dengan cara mendekatkan badan ke dekat nyala api menurut istilah setempat disebut “api-api.” Makin lama makin lengkap anggota keluarga yang berkerumun di depan pawon untuk ikut api-api. Biasanya sambil membakar-bakar sesuatu makanan, misalnya jagung, singkong, ubi atau apapun juga makanan yang enak dibakar. Tak lupa sambil minum teh hangat dengan pemanisnya gula aren. Sering tehnya hasil panen sendiri dari kebun yang juga diproses sendiri. Tapi soal bakar membakar makanan di nyala api pawon ini hanya optional. Kalau ada yang bisa dibakar, mereka bakar. Jikalau tak ada tak jadi soal. Yang penting seluruh anggota keluarga berkumpul di situ sambil ngobrol dan diskusi aneka macam topik. Tak kalah serunya dengan kumpulan keluarga di kawasan lain saat makan malam. Ketika masakan si ibu sudah selesai dilanjutkan dengan sarapan bersama. Tetap berlokasi di dapur. Karena memang kebanyakan rumah tangga di lereng Lawu tidak menyediakan ruangan makan khusus. Mereka biasa makan bersama di mana saja. Termasuk di ruang dapur. Apakah tidak ada waktu api-api selain di paghi hari? Tentu saja ada. Misalnya di malam hari sehabis maghrib atau di siang hari saat terjadi cuaca ekstrim dingin. Tapi api-api paling seru dan banyak dilakukan orang pada pagi hari. Jadi jika Anda berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain di pagi hari di kawasan lereng Lawu, terutama sebelum sang mentari menampakkan diri, Anda pasti akan mendapati suasana yang sama. Semua anggota keluarga berkerumun di depan pendiangan di ruang dapur. Seperti itu menjadi pemandangan yang umum di sana.
Jadi sementara si ibu menuntaskan memasak makanan untuk sarapan dan biasanya juga sekalian memasak untuk makan siang dengan pawon terbuat dari batu itu, semua anggota keluarga berkumpul mengitarinya. Mereka masing-masing orang duduk di atas bangku kecil terbuat dari kayu yang disebut “dingklik” saling berhimpitan agar bisa duduk sedekat mungkin dengan api. Itulah sebabnya di ruang pawon selalu tersedia banyak dingklik yang jumlahnya sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Setiap orang memiliki dingklik sendiri-sendiri. Biasanya dikasih tanda agar tidak tertukar. Di sela-sela serunya pembicaraan di antara mereka, secara bergantian sesekali ada yang menggeser masuk batang-batang kayu yang mulai terbakar dimakan nyala api ke dalam mulut pawon. Aksi ini disebut “nyugokke geni” ini sebuah ungkapan yang salah kaprah, yang maksudnya memasukkan batang kayu agar dimakan api.
Momen berkumpul setiap pagi ini dimanfaatkan untuk cakupan diskusi yang luas mulai dari sekedar berbincang santai hingga untuk mendiskusikan rencana-rencana penting menyangkut masa depan keluarga. Aneka program keluarga, berbagai rencana ke depan dimusyawarahkan di depan pawon di pagi hari yang dingin. Makanya tak jarang berbagai keputusan besar dan strategis tercetus dari rapat keluarga di saat mereka menghangatkan badan di depan pendiangan. Betapa uniknya Anda melihat fenomena yang terjadi di lereng Lawu dimana rencana pernikahan anak yang sudah mulai memasuki usia dewasa, rencana menyewakan tegal dan sawah kepada pihak lain, hingga keputusan menggaduhkan sapi atau kerbau dimatangkan dan diputuskan di depan pawon. Dan tentu banyak topik pembicaraan lain yang dihasilkan di depan pawon bersama seluruh anggota keluarga di pagi hari.
Tentu Anda juga bertanya apa beberapa anggota keluarga di lereng Lawu tidak keburu menjalankan aktivitasnya masing-masing sehingga mereka masih bisa menyempatkan diri berkumpul di depan pawon sementara untuk masyarakat di kawasan lain nyaris tidak waktu luang di pagi hari karena takut terlambat masuk kantor atau anak-anak terlambat ke sekolah. Untuk memahami fenomena ini Anda perlu mengetahui ritme kehidupan masyarakat setempat. Pada kurun waktu antara tahun 70-an hingga tahun 80-an mayoritas masyarakat di sana hidup sebagai petani. Saat tidak ada pekerjaan di ladang banyak warga yang mencari kayu bakar di hutan baik unyuk keperluan sendiri maupun untuk dijual. Tentu juga mereka juga harus mencari rumput untuk pakan ternak peliharaan mereka. Dan untuk pergi ke ladang atau ke hutan tidak ada jadwal yang pasti. Tidak harus terburu-buru. Meskipun mereka juga menyadari jika berangkat kerja lebih awal tentu lebih baik. Dan untuk sekolah, lokasi sekolahan sering berada pada jangkauan anak-anak dengan berjalan kaki. Selain itu seandainya toh si anak terlambat ke sekolah sudah menjadi hal yang lumrah. Pihak sekolah kala itu maklum bahwa di kawasan itu hampir setiap anak selalu membantu pekerjaan orangtua mereka sebelum berangkat sekolah. Sehingga dengan suasana seperti ini rapat keluarga di depan pawon tidak akan ditutup sebelum dirasa tuntas masalahnya. Setiap orang tidak merasa di bawah tekanan untuk terburu-buru ke tempat aktivitasnya masing-masing.
Sayangnya di tahun 2020-an ini kisah yang kehangatan keluarga di lereng Lawu pada pagi hari sudah mulai jarang ditemui. Di sekitar tahun 2009 lalu tatkala Pemerintah menggalakkan program penggunaan gas LPG untuk keperluan memasak dimana saat itu minyak tanah mulai langka, maka banyak keluarga di lereng Lawu yang meninggalkan pawon tradisional mereka dan mulai beralih ke kompor gas. Dan berangsur-angsur banyak kalangan generasi muda memasuki dunia profesional dimana mereka banyak yang mengejar karir untuk kehidupan yang lebih baik di jaman modern ini. Sehingga warga setempat sudah harus berangkat kerja pagi-pagi di berbagai sektor di kota-kota terdekat yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomki, misalnya kota Solo atau Surakarta, Wonogiri, Sragen. Bahkan juga di pusat ekonomi lokal yang kecil seperti Karangpandan dan Matesih. Mereka kini tidak lagi memiliki waktu untuk berkumpul bersama keluarga di depan pawon di pagi hari seperti di waktu lampau.
Terlepas dari masih banyak keterbelakangan pada masa lampau, tapi masa lalu menyimpan kenangan indah yang sulit dilupakan saat kita dewasa. Dalam bahasa Perancis ada ungkapan La gloire du passé, c’est inoubliable. (Maksum)