SELAMA ini yang menjadi andalan dunia pariwisata Indonesia hanyalah kebagusan alam dan seni budaya. Misalnya, Pantai Kuta, Danau Toba, Laut Banda, Candi Borobudur, Pura Tanah Lot, Wayang, dan lain-lain. Meskipun kita masih mengaku sebagai negara agraris, namun potensi pertanian ini seakan-akan luput dari perhatian kita untuk dijual sebagai obyek wisata atau istilah kerennya agrowisata.
Kalau toh ada juga obyek pertanian yang ditawarkan sebagai, agrowisata, kita masih dapat mempertanyakan, mana sebenarnya yang mau dijual? Apakah obyek pertanian itu sendiri atau justru kebagusan alamnya? Misalnya saja, sawah yang berkelok-kelok di perbukitan atau kebun teh yang berudara sejuk di lereng gunung?
Padahal sebenarnya dunia pertanian kita sangat luas dan beragam, sehingga pilihan terhadap obyek, pertanian yang layak dijual sebagai agrowisata juga sangat banyak dan bervariasi. Misalnya, proses penyadapan nira kelapa, siwalan dan aren untuk selanjutnya dibuat gula merah.
Di Eropa, Jepang dan Amerika, palm sugar sudah cukup dikenal, namun mereka belum pernah tahu sosok tanaman yang menghasilkan dan proses pembuatannya. Trend memancing di laut juga makin popular. Potensi ini dapat digarap dengan membenahi kaum nelayan kita, yang pendapatannya pas-pasan itu. Perkebunan yang menarik untuk diagrowisatakan juga bukan hanya terbatas pada teh dan kopi. Kita masih punya karet, kelapa sawit, tembakau, dan lain-lain yang sangat potensial untuk dijual sebagai obyek wisata.
Beberapa pola agrowisata
Keterlibatan dunia pertanian dalam pariwisata dapat dikelompokkan menjadi beberapa pola. Sentuhan paling ringan terjadi, kalau obyek pertanian itu hanya sekadar jadi pelengkap. Misalnya, pertanian bengkuang, talas dan pisang di Bogor hanyalah sekadar menyuguhkan produk yang dihasilkan untuk oleh-oleh bagi wisatawan, yang tujuan utamanya ke Puncak, Taman Safari, dan Kebun Raya. Pengunjung tidak pernah mempedulikan proses budidaya komoditi oleh-oleh tadi. Yang penting, menikmati keindahan alam, lalu pulangnya menenteng bengkuang dan talas yang khas Bogor.
Pola kedua, wisatawan tidak hanya cukup membeli komoditi pertanian khas tadi, melainkan juga ingin melihat tanamannya. Orang yang pergi ke Brastagi misalnya, kadang-kadang tidak puas hanya sekadar membeli sirup markisa, tetapi juga ingin melihat-lihat buahnya yang masih bergelantungan di pohon. Pada pola ini, wisatawan hanya sekadar ingin melihat, tanpa mengharapkan penjelasan apa pun.
Pola ketiga, wisatawap selain membeli produk pertanian, melihat proses budidaya maupun pascapanen, sekaligus juga ingin tahu lebih jauh, sehingga mereka memerlukan penjelasan sekadarnya.
Pola keempat, wisatawan bukan hanya sekadar membeli produk pertanian, melihat atau mendapat penjelasan sekadarnya. Selain itu semua, mereka juga berminat untuk tahu secara mendalam dan ikut menikmati proses budidaya maupun pascapanen, sehingga perlu ikut terlibat melakukannya dan tinggal di lokasi pertanian dalam jangka waktu tertentu. Pola seperti ini belum tampak muncul di Indonesia, namun di Eropa mislanya di Jerman (Barat) sudah lama populer dan diminati wisatawan.
Konsep yang jelas
Dari keempat pola tadi, pola pertama masih belum dapat disebut sebagai agrowisata. Di sana, produk pertanian hanyalah sekadar embel-embel. Namun, harus diakui bahwa justru dalam pola inilah jumlah wisatawan paling banyak dapat ditarik. Sementara itu kegiatan budidaya dan pascapanen pertanian yang dijadikan ”embel-embel” wisata umum itu, juga dapat berkembang dengan intensitas yang tinggi, Meskipun kontak antara wisatawan dengan produsen produk pertanian sama sekali tak ada.
Jumlah wisatawan yang dapat ditarik oleh pola kedua maupun ketiga semakin susut. Namun, keterlibatan wisatawan terhadap proses budidaya dan pascapanen sudah mulai muncul. Pola seperti inilah yang sudah sangat populel di Volendam, Negeri Belanda, wisatawan dapat melihat kincir angin, sapi di padang gembalaan, proses pembuatan keju, dan lain-lain.
Di Indonesia, pola serupa sudah mulai tampak, misalnya di kebun teh Gunung Mas dan di Pangalengan, Jawa Barat. Bedanya, kalau Volendam seratus persen obyek wisata, yang pendapatannya dari kocek wisatawan, Gunung Mas tetap sebuah kebun teh yang penghasilannya dari memproduksi teh. Agrowisata hanyalah suatu sambilan “kecil”.
Intensitas keterlibatan wisatawan mencapai puncaknya dalam pola keempat. Namun, secara kuantitatif jumlah yang berminat ke sana, relative kecil. Agrowisata pola ini jelas tidak mungkin digarap secara masal, dengan harapan dapat menyedot turis sebanyak mungkin. Namun, sebagai salah satu alternative tourism, pola demikian tetap layak dijual, lebih-lebih di waktu mendatang, sehingga penggarapannya sudah harus segera dimulai.
Untuk dapat mencakup segi ideal maupun komersial, tampaknya pola kedua dan ketigalah yang paling mendesak untuk digarap. Tinggal akan diapakan ke mana pilihan kita, apakah ke wisman (wisatawan manca Negara) atau wisdom (wisatawan domestik). Yang jelas, potensi agrowisata kita ada dan kuat. Tinggal, adakah niat kita untuk menjualnya atau akan kita biarkan potensi itu terpendam mubazir.
F. Rahardi, wakil Pemimpin Redaksi majalah Trubus
Sumber: Kompas, tanpa tanggal dan tahun