Masyarakat yang berdiam di Lereng Gunung Lawu barangkali harus tahu bahwa Gunung Lawu adalah salah satu ekosistem unik di Pulau Jawa, baik ditinjau dari kekayaan hayati maupun budayanya. Lantas harus diapakan kalau ekosistem unik?
Keunikan tersebut karena Gunung Lawu merupakan ekosistem titik peralihan wilayah timur yang beriklim kering dan wilayah barat yang beriklim basah sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Kondisi alam yang subur menjadikan wilayah ini sebagai pusat peradaban sejak zaman dahulu hingga kini dengan pergantian dan perpaduan berbagai budaya dari generasi ke generasi. Penyusunan profil keragaman hayati maupun budaya Gunung Lawu sangat penting artinya sebagai rujukan sejarah dan pengembangan sistem pengelolaannya.
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, sebagai salah satu perguruan tinggi negeri besar dan dekat dengan kawasan Gunung Lawu telah mencoba mengambil peran dalam upaya pelestraian itu. Sudah hampir satu dekade, perguruan tinggi ini melakukan penelitian berbagai aspek tentang Gunung Lawu.
Di kawasan ini sebenarnya banyak perguruan tinggi. Misalnya ada Akademi Peternakan Karanganyar (Apeka), kemudian di Kota Solo juga ada Universitas Tunas Pembangunan, Universitas Slamet Riyadi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Surakarta Institut Seni Indonesia Surakarta, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Solo, dan yang terakhir juga akan berdiri Universitas Muhammadiyah Jawa Tengah di Papahan Tasikmadu. Banyak mahasiswa/i nya yang melakukan penelitian parsial di kawasan Gunung Lawu. Namun yang dilakukan UNS ini berskala lebih besar dan kolaborasi dengan melibatkan banyak pihak.
Awalnya tim ekspedisi melakukan penyusunan profil potensi keragaman hayati yang merupakan penyusun ekosistem Gunung Lawu. Untuk kepentingan penyusunan profil tersebut telah dan terus diupayakan melakukan eksplorasi di kawasan tersebut, antara lain melalui Ekspedisi Wukir Mahendra(EWM) dan Ekspedisi Sungai Samin (ESS).
Dua kegiatan ekspedisi tersebut telah mengukuhkan anggapan bahwa Kawasan Gunung Lawu memiliki keragaman hayati dan budaya masyarakatnya yang tinggi.
Dalam khasanah konservasi, keragaman hayati merupakan aset vital bagi kelangsungan hidup manusia. Selain berfungsi sebagai sumber pangan, obat-obatan, sandang, papan maupun sarana transportasi dan komunikasi, kompleksitas kekayaan hayati juga berperan sebagai pengendali fungsi lingkungan, penyedia air dan udara yang sehat. Keragaman hayati dipercaya terkaiti erat dengan keragaman budaya manusia sepanjang perkembangan peradabannya. UNESCO (2001) menyatakan “…cultural diversity is as necessary for humankind as biodiversity is for nature“. Pernyataan ini menegaskan bahwa ada saling ketergantungan antara keragaman hayati dengan keragaman budaya.
Para peneliti di UNS ini mempercayai bahwa dalam upaya melestarikan keragaman hayati sebagai penopang kehidupan manusia, maka diperlukan pula pelestarian budaya masyarakat setempat yang sudah ada secara turun-temurun sebagai cermin kearifan lokal yang harmonis dan selaras dengan alamnya. Usaha konservasi ini harus dimulai dengan mengenali profilnya masing-masing sebagai modal awal menyusun rencana pengelolaaannya ke depan.
Berdasarkan tapak sejarah berupa situs-situs yang berada di sekitar Gunung Lawu –seperti Candi Sukuh Candi Ceto, Candi Planggatan dlsb– menunjukkan bahwa kawasan tersebut merupakan sentra kemakmuran dan perkembangan budaya penting sejak jaman pra sejarah, kerajaan Jawa Hindu-Budha, kerajaan Jawa Islam hinggga jaman modern sekarang.
Secara geologis, Gunung Lawu merupakan pegunungan vulkanik tua yang sudah tidak aktif (Rombang dan Rudyanto, 1999) dan memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi baik energi, air, tanah yang subur, keindahan landscape, kekayaan hayati bahkan kekayaan budaya dan sejarah peradaban yang unik. Salim (2005) mengatakan bahwa gunung lawu memiliki peran sangat penting bagi wilayah di sekitarnya, antara lain sebagai sentra perziarahan budaya tradisional Kejawen, sumber mata air permukaan dan air dalam tanah dan ekosistem tempat tumbuh fauna-flora khas.
Potensi alam Gunung Lawu telah memberikan berkah/manfaat bagi masyarakat lokal, bahkan masyarakat yang berada jauh dari kawasan tersebut. Hal ini memicu peningkatan eksploitasi sumberdaya alam tersebut. Alih guna lahan untuk berbagai kepentingan, terutama untuk industri pariwisata, semakin meningkat dari waktu ke waktu semakin tak terelakkan. Dampak negatif kegiatan tersebut juga semakin dirasakan, bahkan semakin mengkawatirkan akan kelestraiannya.
Salah satu bagian terpenting dari Gunung Lawu adalah hulu sungai Samin. Sungai Samin merupakan badan sungai terbesar yang mengalir dari lereng Gunung Lawu berhulu di lereng selatan dan bermuara di Sungai Bengawan Solo. Sungai Samin memiliki peran vital bagi masyarakat di sekitarnya. Pemanfaatan Sungai Samin diantaranya sebagai sumber air minum, irigasi untuk pertanian dan perkebunan, tambang pasir, sumber pangan tempat rekreasi dan sebagai sarana MCK (Mandi, Cuci, Kakus).
Sungai Samin yang menyimpan potensi kekayaan biodiversitas sangat mendukung perkembangan pariwisata, salah satunya yang telah berkembang yaitu air terjun Grojogan Sewu. Sayangnya eksploitasi sumberdaya alam sungai Samin di kemudian hari cenderung semakin berlebihan sehingga berpengaruh negatif terhadap kualitas lingkungannya.
Meskipun kawasan Gunung Lawu maupun Sungai Samin memiliki potensi serta dinamika permasalahan yang kompleks dan saling terkait antara kekayaan alam dan budayanya, namun dari catatan sejarah maupun informasi ilmiah kawasan tersebut masih terbatas. Sehingga kegiatan ekspedisi seperti EWM dan ESS menjadi sangat penting sebagai upaya pendataan potensinya. UNS telah berhasil menyusun profil keragaman hayati dan budaya dari kegiatan EWM dan ESS tersebut. Profil ini menjadi acuan pengelolaanya kawasan Gunung Lawu secara berkelanjutan di masa depan.
Wukir Mahendra merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut Gunung Lawu pada masa lampau. Sejak tahun 2014, 2015, 2016 hingga 2017 telah terlaksana kegiatan Ekspedisi Wukir Mahendra, yaitu kegiatan pemetaan dan inventarisasi keanekaragaman hayati dan kajian aspek sosial dan budaya masyarakat di kawasan Gunung Lawu. Kegiatan ini dilaksanakan oleh kelompok studi Biodiversitas dan kelompok studi Kepak Sayap Program Studi Biologi FMIPA UNS Surakarta. Selain kedua kelompok studi mahasiswa tersebut, juga bergabung dan terlibat beberapa kelompok studi mahasiswa dari UGM, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UNNES dan UNDIP Semarang.
Hasil-hasil kegiatan EWM telah didiseminasikan di berbagai forum ilmiah, baik lokal, nasional dan internasional. Salah satu kegiatan ekspedisi yang berhasil didokumentasikan oleh tim dan didiseminasikan adalah ekspedisi yang dilakukan pada kegiatan EWM 2 tahun 2015 di bagian barat lereng Gunung Lawu.
Hasil EWM2 dan ESS sempat didiseminasikan di Seminar yang bertajuk Penyelamatan Ekosistem Gunung Lawu berbasis Budaya di Kampus UNS Kentingan Surakarta, pada 22 Juli 2017. Bupati Karanganyar, Drs. H. Juliatmono, M.M. sempat hadir sebagai salah satu keynote speaker.
EWM 2 menyebutkan bahwa sebagian kawasan hutan di lereng barat Gunung Lawu merupakan hutan produksi dan hutan hujan pegunungan alami. Pada kegiatan analisis vegetasi yang dilakukan bahwa hutan di kawasan lereng barat memerlukan regenerasi hutan karena kawasan hutan didominasi oleh kelompok pohon sebesar 84,7% pada tegakan hutan. Lokasi pengamatan yang terletak di hutan Segorogunung Kelurahan Segorogunung dan hutan Parang Ijo di Desa Girimulyo Kecamatan Ngargoyoso . Pada hutan Segorogunung ditemukan 5 jenis tumbuhan pada tingkat pohon dengan jumlah individu 39 pohon, sedangkan pada hutan Parang Ijo ditemukan 8 jenis tumbuhan pada tingkat pohon sebanyak 47 individu. Hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman jenis pohon cukup tinggi.
Selanjutnya, organisme tingkat rendah di lereng barat sangat melimpah dengan ditemukan 35 temuan paku, 17 temuan lumut, dan 25 temuan jamur makroskopis. Tumbuhan anggrek di lereng barat cukup beragam dengan terdatanya 21 spesies. Organisme epifit memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh manusia seperti manfaat bahan obat dan makanan pada beberapa spesies jamur, lumut dan paku-pakuan; dan juga sebagai tanaman hias pada beberapa spesies paku-pakuan, lumut, dan anggrek.
Di lereng barat Gunung Lawu juga terdapat beragam fauna. Pada pengamatan burung ditemukan setidaknya 61 spesies, sedangkan spesies kupu-kupu sejumlah 21 spesies, dan jenis herpetofaua yang telah teridentifikasi sebanyak 25 spesies dari 13 famili dengan total keseluruhan 159 individu. Eksistensi keberadaan fauna tersebut apabila tetap terjaga akan membuat lingkungan tetap lestari
Di aspek budaya, disimpulkan bahwa kehidupan sosial-budaya masyarakat di lereng barat Gunung Lawu sangat beragam, terlihat dari tradisi kebudayaan dan kearifan lokal yang dimiliki. Masyarakat desa hutan di Kecamatan Ngargoyoso dan Kecamatan Jenawi sangat memahami arti penting hutan dan upaya pelestariannya. Hal tersebut dibuktikan dengan peraturan tegas yang ditetapkan oleh aparatur desa di hampir semua desa yang berada di pinggir hutan, agar masyarakat tidak berlebihan dalam memanfaatkan hasil hutan atau berburu secara liar.
Selain itu, kebanyakan masyarakat sudah tidak secara langsung memanfaatkan hasil hutan. Kearifan lokal masyarakat bahkan tidak hanya terbatas pada pelestarian hutan saja, seperti pada masyarakat Desa Girimulyo Kecamatan Ngargoyoso yang mengabadikan sejarah desa yang mengandung kearifan lokal dalam bentuk tarian. Selain menjadi kesenian yang unik yang menjadi ciri khas desa tersebut, tarian ini juga menjadi media edukasi bagi generasi penerus desa selanjutnya, sehingga tidak melupakan sejarah desa. Kearifan lokal warga kecamatan Jenawi dalam menjaga sumber air juga menjadi salah satu bentuk nyata kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam.
Setelah berakhirnya 4 periode EWM upaya ini tidak berhenti. Sebagai upaya untuk menindaklanjuti hasil-hasil EWM dalam kegiatan nyata konservasi bersama masyarakat, maka diselenggarakan Ekspedisi Sungai Samin. Kegiatan ESS ini dimaksudkan juga sebagai pengembangan kajian nilai penting kawasan Gunung Lawu untuk kehidupan yang lebih luas, tidak saja di kawasan itu sendiri melainkan sampai kawasan ngarai yang dialiri sungai Samin.
Sebagai dasar kegiatan ESS telah dilakukan kajian keragaman serangga dan makrozoobenthos di sepanjang sungai Samin. Hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa: indeks diversitas pada stasiun Kalisoro 2,133 (sedang), stasiun Plumbon 1,039 (sedang), stasiun Gantiwarno 1,886 (sedang), stasiun Lalung 1,078 (sedang) dan stasiun Telukan 0,598 (rendah). Indek diversitas berkorelasi sangat lemah dengan kecepatan arus (-0,060), berkorelasi cukup dengan suhu air (-0,509), kekeruhan (-0,665), kedalaman (-0,650), pH (0,615), DO (-0,534) dan BOD (-0,571), serta berkorelasi kuat dengan COD (-0,862).
Ekspedisi Sungai Samin dimulai dengan kajian kualitas air sungai Samin dari hulu hingga menjelang muaranya di Sungai Bengawan Solo. Pengambilan sampel air dan penggukuran parameter abiotik dilakukan pada 5 stasiun yang berbeda yaitu stasiun I (Tlogo Dlingo), stasiun II (Kalisoro), stasiun III (Plumbon), stasiun IV (Gantiwarno) dan stasiun V (Lalung). Pengukuran parameter abiotik yang meliputi suhu, pH dan DO dilakukan secara langsung di lapangan sedangkan penghitungan analisis mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Perusahaan Daerah Air Minum (Pudam) Tirta Lawu Kabupaten Karanganyar.
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa jumlah total bakteri di sungai Samin sangat tinggi yaitu coliform (lebih dari 2400 MPN/100 ml) dan coliform fekal (3 hingga lebih dari 2400 MPN/200 ml). Nilai total coliform maupun coliform fekal pada seluruh stasiun pengamatan telah melewati ambang batas baku mutu air minum yang artinya air sungai ini tidak memenuhi persyaratan kualitas air minum karena telah tercemar oleh bakteri coliform. Total bakteri coliform fekal paling rendah
ditemukan pada stasiun I (Tlogo Dlingo). Hal ini disebabkan stasiun ini merupakan bagian hulu dari sungai Samin yang memiliki ketinggian 1.657 mdpl berada di dalam hutan sehingga aktivitas manusia jarang ditemui di lokasi ini (Choirunnafi’, 2016).
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa Sungai Samin telah tercemar oleh bakteri coliform dan coliform fekal karena jumlah kedua bakteri ini telah melewati batas baku mutu untuk air minum. Parameter abiotik yang diamati juga memiliki kondisi yang mendukung berkembangnya bakteri di lingkungan perairan.
Dari kegiatan ekspedisi ini tim memberikan kesimpulan umum, bahwa potensi sumberdaya alam dan budaya Gunung Lawu dan sekitarnya sangat tinggi dan perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, khususnya para ilmuwan. Profil kekayaan hayati dan budaya Gunung Lawu perlu disusun berbasis data ilmiah sebagai landasan kebijakan dalam pengelolaannya secara berkelanjutan. Ekspedisi Wukir Mahendra dan Ekspedisi Sungai Samin yang telah dirintis perlu dilanjutkan dan dikembangkan guna melengkapi profil keragaman hayati dan budaya di kawasan sabuk Gunung Lawu.
Sumber: Prosiding Seminar Nasional dan Pentas Budaya Sabuk Gunung Lawu.