Senyap yang Terganggu di Lawu

Kabut di lereng Lawu pagi itu tetap turun seperti biasa. Lembut, membelai pucuk-pucuk teh yang tersisa. Namun suara alam kini bersaing dengan bunyi mesin pemadat tanah, denting sendok garpu dari resto rooftop, dan deru jeep wisata yang melintas di ladang yang dulunya tenang.

Di balik geliat pariwisata yang dianggap berkah, tersembunyi retakan-retakan halus yang pelan-pelan mengancam tubuh Gunung Lawu. Dan retakan itu kini mulai terbaca tak hanya lewat mata warga dan telinga para petani, tapi juga melalui peta satelit, grafik perubahan tutupan lahan, serta laporan-laporan ilmiah dari kampus yang tak jauh dari kaki gunung itu: Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS).

Kebun Teh Kemuning: Dari Hijau Harapan ke Abu-Abu Beton

Dulu, saat matahari masih malu-malu menyelinap di antara batang-batang teh Kemuning, para petani memulai harinya dengan doa. Kini, matahari pagi bersinar terang di atas atap villa-villa mewah, glamping eksklusif, dan wahana selfie berbayar.

Satu per satu, pohon teh dicabut. Diganti dengan bangunan permanen yang tidak lagi peduli pada kemiringan tanah. Menurut catatan DPRD Karanganyar, pembangunan ini bukan lagi soal investasi—melainkan eksploitasi terang-terangan.

Dan suara rakyat pun menggema. Forum Rakyat Peduli Gunung Lawu turun ke jalan. Mereka bukan menolak wisata, tapi menolak cara-cara serakah yang tak menyisakan ruang bagi alam untuk bernapas.

Tawangmangu: Mimpi Basah Para Investor, Mimpi Buruk Para Ekolog

Tak jauh dari Kemuning, di Tawangmangu, suasana serupa terjadi. Lebih dari 270 unit penginapan, kafe, dan resto menjamur dalam lima tahun terakhir. Data dari penelitian mahasiswa UNS, Almadea C. Anissa, menunjukkan bahwa pada 2013 hingga 2021 saja, sudah terjadi pergeseran besar-besaran dari lahan pertanian ke bangunan wisata. Dan jika proyeksi hingga 2041 terbukti benar, maka:

  • 403 hektare lahan akan menjadi bangunan,
  • dan 553 hektare hutan akan hilang.
  • Ironisnya, semua itu terjadi di lereng curam >45%, daerah yang seharusnya dilindungi secara ekologis.

Lawu tak hanya kehilangan pohon. Ia kehilangan akar penopangnya. Erosi meningkat. Sumber air mengering. Dan banjir lumpur menjadi tamu tak diundang di musim penghujan.

Berjo dan Puntukrejo: Antara Warisan Leluhur dan Restoran Estetik

Di Desa Berjo, Candi Sukuh berdiri seperti puisi kuno. Ia sakral, ia agung. Tapi agung itu perlahan terkikis oleh hiruk-pikuk wisata yang datang tanpa pengelolaan: parkiran liar, warung tak teratur, dan spot foto yang menyusup hingga ke pagar cagar budaya.

Lalu di Puntukrejo, suara pembangunan berdentang dalam irama yang lebih terorganisir. Melalui BUMDes, warga mencoba mengelola potensi desa: resto Bali Ndeso, wahana jeep, agrowisata. Tapi pasar kadang lebih kuat dari nilai.

Resto-rsto baru bermunculan. Konsumsi air meningkat. Limbah tak selalu tertangani. Dan tanaman seperti jahe, kopi, serta kunyit mulai kehilangan lahan mereka.

Magetan: Senyap Tapi Terancam

Di sisi timur Gunung Lawu, wilayah Magetan tak seramai Karanganyar. Tapi pola tekanan ekologis mulai terasa: perluasan wisata, pembangunan infrastruktur, dan berkurangnya vegetasi alami. Data resmi masih terbatas, tetapi melihat kecenderungan yang sama, para peneliti dari UNS menyarankan perlunya audit kawasan lindung dan pemetaan ulang fungsi ekologis.

Gunung Lawu bukan sekadar destinasi. Ia adalah menara air, pusat biodiversitas, dan pelindung alam semesta mikro dari puluhan desa di sekitarnya.

Apa Kata Ilmu? Ketika Data Menjadi Alarm

UNS tidak tinggal diam. Dalam beberapa tahun terakhir, para penelitinya meluncurkan serangkaian kajian penting:

  1. Studi perubahan tutupan lahan Tawangmangu (2013–2021) – menunjukkan penurunan besar pada hutan dan lahan pertanian.
  2. Proyeksi perubahan lahan 2041 – dengan metode AI (ANN + CA), memperingatkan ledakan kawasan terbangun.
  3. Kajian usahatani berkelanjutan di lereng Lawu – menegaskan bahwa hanya pada kemiringan <20% lahan bisa diusahakan tanpa merusak.
  4. Ekspedisi biodiversitas dan konservasi budaya – menyusun peta ekologi dan spiritualitas Lawu sebagai warisan tak ternilai.

Data-data itu seperti peringatan dini dari seorang sahabat. Mereka tidak menolak kemajuan, tapi menawarkan jalan yang lebih seimbang: wisata yang merawat, bukan menggerus.

Menuju Hutan yang Bertutur

Lawu mungkin tidak akan berkata-kata. Tapi ia memberi tanda. Ketika air mengeruh, ketika tanah longsor, ketika burung-burung berhenti bersuara, itu semua adalah bahasa alam yang harus kita dengar.

Kini, saatnya kita bertanya:
Apakah kita datang ke Lawu untuk belajar menghargai, atau hanya untuk mengambil gambar dan meninggalkan jejak sampah?

Menjaga yang Diam

Gunung Lawu tidak butuh banyak kata. Ia hanya meminta kita untuk lebih pelan, lebih rendah hati, dan lebih sadar bahwa tanah yang kita injak bukan milik kita sepenuhnya.

Ia adalah rumah bagi ribuan spesies. Ia adalah tempat pulang bagi petani. Ia adalah kitab terbuka bagi siapa saja yang mau belajar tentang harmoni.

Dan jika hari ini kita gagal mendengarkan, mungkin besok kita hanya akan menemukan reruntuhan—dari ekosistem yang dulu damai, kini menjadi ladang retakan yang tak bisa kita pulihkan lagi.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini disusun berdasarkan hasil kajian ilmiah dari Universitas Sebelas Maret (UNS), laporan media daerah, dan penelusuran terbuka di wilayah Kemuning, Berjo, Puntukrejo, Tawangmangu, hingga Magetan.
Didedikasikan untuk mereka yang masih percaya bahwa pembangunan bisa berdampingan dengan kelestarian.

more recommended stories