Sudah hampir dua dekade kawasan lereng Gunung Lawu bagian barat menggeliat. Ditandai dengan dibukanya kawasan air terjun Jumog oleh Pemerintah Desa Berjo pada tahun 1993-an.
Kemudian berbagai destinasi wisata baru dibuka di wilayah-wilayah di sekitarnya, khususnya di wilayah Kecamatan Ngargoyoso. Jenis-jenis destinasi wisatanyapun makin beragam. Pada awalnya hanya berupa wisata alam seperti air terjun, taman hutan raya, lalu berkembang banyak bermunculan wisata kuliner dan wisata buatan seperti taman ikonik.
Eksploitasi sebuah kawasan dengan berbagai skala sudah pasti akan memberikan beban kepada lingkungan. Dalam jangka panjang tekanan itu bisa berakibat menurunkan ragam hayati, menurunkan daya dukung lingkungan, dan kemungkinan pada akhirnya menurunkan juga pendapatan ekonomi dari pengusahaan wisata di wilayah tersebut.
Dampak lingkungan bisa terjadi dalam waktu yang lama dan bertahap. Menurut Puguh Karyanto, S.Si., M.Si., Ph.D pakar ekologi dari FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta keragaman flora dan fauna di lereng barat Gunung Lawu masih cukup bagus.
“Kawasan di atas Dusun Tambak, (Desa Berjo), jalur Cemoro Bulus relatif masih bagus”, katanya dalam wawancara secara online.
Menurutnya masalah muncul karena flora endemik belum teridentifikasi. Dampak dari eksploitasi itu dan upaya antisipasinya belum terukur.
Database hasil-hasil pengkajian yang dilakukan berbagai pihak mungkin masih tersimpan secara terserak. Bahkan beberapa mungkin ada di private desk yang tidak terlaporkan secara sistematis, sehingga secara umum basis datanya memang masih perlu diperhatikan dan diperbaiki agar upaya mengenali dampak eksploitasi itu bisa lebih akurat.
Kata peneliti yang sudah berkali-kali melakukan penelitian di wilayah Desa Berjo itu, awalnya data penelitian dipegang oleh Jurusan Biologi FMIPA UNS. Saat itu database disimpan sebagai publikasi di jurnal Biodiversitas UNS. Kemudian juga pernah disusun roadmap secara tematik oleh Pusat Studi Biodiversitas UNS. Ia mengaku berada di luar kedua struktur tersebut.
Kemudian upaya pengkajian untuk beberapa bagian dikerjasamakan antara Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNS dengan Pemerintah Kabupaten Karanganyar terkait inisiasi Taman Hutan Raya Ngargoyoso. Namun demikian data tidak dipegang oleh otoritas Pemerintah Kabupaten Karanganyar, PT Perhutani (BUMN) atau Tahura sendiri. Pemetaan masalah juga pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sebelas Maret (UNS).
Tapi upaya pemetaan masalah ini kebanyakan berbasis proyek sehingga jika tidak disistematiskan penataan datanya, seolah-olah hanya menyisakan serapan anggaran dan keuntungan akademik pelaku riset.
Ketika ditanya apakah saat ini sudah perlu melakukan upaya pelestarian lingkungan di kawasan barat Gunung Lawu, menurutnya upaya pelestarian tetap selalu menjadi prioritas. Cuma karena wilayahnya bukan sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah daerah, melainkan juga dibawah otoritas Perum Perhutani dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, maka peran pemerintah kabupaten di sekitar Gunung Lawu sepertinya kemudian menjadi kurang maksimal. Tetapi mestinya sebagai kawasan penyangga, pemerintah daaerah harus dilibatkan dalam upaya pengelolaan. “Upaya pelestarian mestinya selalu menjadi prioritas kapanpun itu. Dan dasarnya adalah database,” tegasnya.
Menurut Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret yang juga alumnus Environmental Management, College of Law, Government, and International University Utara Malaysia ini sebenarnya tak ada yang spesial dari keanekaragaman hayati di lereng barat Gunung Lawu. Menurutnya akan sama dengan beberapa ekosistem pegunungan di Gunung Merapi atau Gunung Merbabu. Ini disebabkan karena representasi iklim yang sedang hingga sedikit kering, menyebabkan tidak ada perbedaan signifikan dalam endemisitas atau kekhasan. Namun demikian menurutnya seorang konservasionis akan berpikir bahwa setiap ekosistem adalah unik dan harus diperhatikan upaya konservasinya. Karena biodiversitas apapun dan dimanapun dia akan memiliki nilai dan intrinsic value.
Kekayaan hayati di lereng barat Gunung Lawu sangat potensial untuk dimanfaatkan mendukung kegiatan perekonomian khususnya dari sektor wisata di kawasan ini. Caranya tentu ditata sistem databasenya (potensi biodiversitas dan ecosystem service-nya) sebagai referensi rona lingkungan awal terlebih dahulu. Kemudian petakan potensinya, selanjutnya kembangkan dengan konsep community based ecotourism, dan terakhir evaluasi keterlaksanaannya.
“Di ranah politik tentu kuatkan posisi tawar ekologinya relatif terhadap dominansi kepentingan politiknya,” lanjutnya.
Peran generasi muda juga penting di sini. Sesuai dengan framework Agenda 21 tentang sthrengthening the role of major group maka harus tersampaikan konsep-konsep environmental ethics dan sustainable ecotourism. Harus ada opinion leader yang menginisiasi, membentuk struktur organisasi masif, –misalnya kelompok sadar wisata–, menggandeng pihak yang bisa menguatkan environmental competences and networking. (Abid)