Membenahi Jalur Wisata Kita

MENANGANI pariwisata memang banyak tantangannya karena sifatnya yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu dan profesi. Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan fisik berupa bentang alam (lansekap) baik yang bersifat alami maupun binaan, tak jarang terjadi konflik yang muncul dari berbagai kepentingan.

Kasus air terjun Madakaripura (Kompas, 28/6/1989) merupakan contoh nyata. Dalam kasus ini kita melihat, di satu pihak, kepentingan Pemda Kabupaten Probolinggo mengetengahkan potensi wisata daerahnya sambil berupaya mendapatkan manfaat sosial, ekononmi yang menyangkut kepentingan masyarakat atau penduduk setempat. Di sisi lain ada kepentingan dari Perum Perhutani yang menyangkut perlindungan serta pengawetan sumberdaya alam berupa hutan lindung dengan ekosistem hutan pinus, yang disebutkan sebagai rawan erosi di dalamnya.

Adanya kasus semacam ini semakin menambah kesadaran kita untuk membuktikan apakah kita sudah betul-betul memiliki kearifan bersama untuk mendamaikan konflik tersebut atas dasar prinsip pemanfaatan secara bijaksana. Dengan cara ini diupayakan agar kepentingan sosial ekonomi tetap dapat tersalurkan, namun tak berakibat fatal bagi kelestarian lingkungan. Kiranya suatu pemecahan penataan yang berwawasan lingkungan dapat memberikan kontribusi positif.

Masalah jalan wisata
Diantara masalah teknis yang muncul dari kasus Madakaripura adalah soal pembuatan jalan wisata yang harus menembus kawasan hutan tanpa harus berakibat timbulnya kerusakan berat atau drastis pada ekosistemnya.

Di lingkungan arsitek lansekap, Walter Leder pada tahun 1966 pernah mengemukakan sebuah usulan berwawasan ekologis tentang cara penebangan pohon-pohon hutan untuk maksud pembukaan jalur jalan. Bagian-bagian, hutan yang akan ditebang ditentukan dahulu beberapa waktu sebelumnya (sebaiknya 2-3 tahun sebelumnya). Kemudian secara bertahap dilakukan penipisan atau panebangan sebagian.

Ruang kosong’ di antara pohon yang sementara masih ditinggalkan/ belum ditebang diisi dengan menanam belukar atau jenis semak pionir sesuai dengan formasi vegetasi asli dan habitatnya. Dengan demikian, pada waktu pohon-pohon di di daerah proyek jalan itu benar-benar ditebang habis, vegetasi bawah ini sudah dalam keadaan tumbuh dan sekaligus menjadi pelindung pohon di belakangnya serta sebagai pembatas jalan.

Untuk menambah keindahan, jenis semak pionir ini bisa dipilih yang berbunga indah meskipun sifatnya tanaman liar. Melalui cara ini diusahakan penghindaran terjadinya kemungkinan terbakarnya kelompok-kelompok pohon asli yang sangat bernilai itu akibat sinar matahari yang menimbulkan shock pada vegetasi pohon-hutan semula. Secara grafis metode ini bisa dilihat pada gambar.

Sistem Parkway
Sistem parkway merupakan penghubung antara kawasan pedesaan sebagai taman (park) dengan kota di dekatnya dan merupakan suatu usaha untuk menjadikan pengalaman berkendaraan di jalang raya menjadi suatu hal yang rekreatif dan menyenangkan.

Sistem parkway jika diterapkan pada jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan pariwisata atau jalur wisata, akan membantu meningkatkan kenikmatan pemakaian jalan untuk tujuan pariwisata. Sebuah parkway mempunyai manfaat dan karakter khusus sebagai daya tarik utamanya sehingga ia tidak semata-mata sebagai alat penghubung satu wilayah ke wilayah lainnya. Dari segi pemeliharaan kawasan parkway relatlf tak memerlukan biaya besar, karena suasana alamiah dibiarkan tumbuh di situ tanpa intervensi manusia yang terlalu banyak dibandingkan park jalan yang khusus dibuat.

Prinsip jalur jalan –ruang terbuka pada jalur jalan, bisa dipakai dalam perencanaan parkway jalur wisata tanpa keceperan tinggi, sehingga irama ruang dan sekuen pemandangan dapat dinikmati pemakai jalan. Penempatan tempat-tempat istirahat sejenak disesuaikan dengan teori jarak lelah dalam perancangan exterior space, dengan pertimbangan faktor kecepatan pemakai jalan (pejalan kaki/ mobil, sepeda, atau lainnya)

Pada jarak tertentu, disediakan pembukaan vista (pemandangan jalan yang kanan-kirinya berpohon) dan tempat melepas lelah sejenak, untuk menikmati pemandangan sebelum kembali meneruskan perjalanan, sehingga mengurangi kebosanan dan kesan monoton.

Sebuah konsep ride awhile stop awhile untuk perencanaan jalan dalam tingkat kecepatan sedang, berkarakteristik memiliki pengaturan lokasi perluasan taman untuk fasilitas rekreasi pada interval tertentu di sepanjang jalur jalan, dan penyediaan unit-unit tempat istirahat dengan penyediaan tempat parkir serta pembukaan vista.

Filosofi parkway adalah untuk memberikan tiap pemakai jalan suatu kesempatan untuk melihat, merasakan dan menikmati keindahan alam dalam suatu perjalanan yang santai.

Pemikiran terpadu
Menyimak kasus Madakaripura di atas yang mungkin akan disusul dengan kasus-kasus serupa pada masa yang akan dating, semakin menambah kesadaran kita bahwa untuk menanggulanginya perlu pemikiran atau konsep yang terpadu dari berbagai disiplin ilmu dan profesi, khususnya yang berhubungan dengan penataan lingkungan fisik.

Titik pokok yang paling kritis dalam masalah di Madakaripura adalah pada aspek keseimbangan antara faktor preservasi yang sudah ada dan pengembangan sesuatu yang baru untuk kepentingan manusia.

Pengertian pemanfaatan secara bijaksana, bukan diartikan mana yang paling banyak atau mana yang harus paling sedikit dari kedua faktor tersebut, tetapi yang dicari adalah yang terbaik dari semua itu dilihat secara keseluruhan. Artinya, bukan mencari suatu kondisi maksimum atau kondisi minimum tetapi kondisi yang optimum, dalam hal hubungan optimum antara manusia dan lingkungannya.

Beberapa alternatif pemecahan teknis dan pemikiran dari sudut arsitektur lansekap di atas barangkali dapat menjadi bahan acuan pertimbangan di tengah usaha pembangunan berwawasan lingkungan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah di sektor pariwisata untuk menggalakkan sadar wisata (darwis); sadar hukum (darkum), dan sadar lingkungan (darling) di tengah masyarakat yang perlu penjabaran lebih lanjut baik dalam skala pembuatan kebijakan maupun teknik operasional di lapangan.

(Jusna M. Amin J. Ahmad, dosen Jurusan Arsitektur Lansekap Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti)

Sumber: KOMPAS, 9 Juni 1989

 

more recommended stories