Kalau kita membaca sejarah, maka akan mengingat nama Raffles. Saya harus acungi jempol pada kiprah beliau, terlepas perannya sebagai salah satu penjajah Indonesia. Dia sudah Gubernur dan peduli pada hal lain-lain. Dia meneliti tanaman yang kelak dinamakan namanya Rafflesia Arnoldi dan menulis buku sejarah paling komplet di zamannya pada usia 36 tahun. Tugasnya sebagai gubernur hanya empat tahun tetapi masih sempatnya menulis buku dan penelitian lain.
Dari Wikipedia, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (lahir di Jamaica, 6 Juli 1781 – meninggal di London, Inggris, 5 Juli 1826 pada umur 45 tahun) adalah seorang Gubernur-Letnan Hindia Belanda yang terbesar. Ia adalah seorang warga negara Inggris. Ia pendiri kota dan negara Singapura. Ayahnya, Kapten Benjamin Raffles, terlibat dalam perdagangan budak di Kepulauan Karibia, dan meninggal mendadak ketika Thomas baru berusia 15 tahun, sehingga keluarganya terperangkap hutang. Raffles langsung bekerja di London untuk Perusahaan Hindia Timur Britania, perusahaan dagang setengah-pemerintah yang berperan banyak dalam penaklukan Inggris di luar negeri. Pada 1805 ia dikirim ke pulau yang kini dikenal sebagai Penang, Malaysia, yang saat itu dinamai Pulau Pangeran Wales.
Raffles menjadi Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811-1815, ketika Kerajaan Inggris mengambil alih jajahan-jajahan Kerajaan Belanda dan tahun 1818 Raffles dipromosikan sebagai Gubernur Sumatra, ketika Kerajaan Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis.
Sewaktu Raffles menjabat sebagai penguasa Hindia Belanda, ia mengusahakan banyak hal, antara lain : menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial Belanda, menyelidiki flora dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya. Tidak hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami pencarian Raffles akan Candi Borobudur, Raffles belajar Bahasa Melayu. Hasil penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku berjudul: History of Java, yang menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa yang terbit di Inggris 1817.
Dan buku ini saya baca sekarang. Buku ini tebalnya 903 halaman. Lumayan untuk ganjel kepala kalau tidur. Itupun hurufnya kecil-kecil. Kalau hurufnya standart buku biasa, bisa di atas 1000 halaman. Tapi saya tidak membaca semuanya. Saya membaca yang diperlukan saja. Saya membaca bab Suku (h) karena itu di kampong halaman saya dan hanya berjarak 1 km dari Vila Watu Tumpang, salah satu tempat tinggal saya. Ternyata Rafless sudah menulisnya 200 tahun lalu dan memberi ilustrasi beberapa relief Candi Sukuh yang bermakna. Saya agak bangga juga, salah satu sudut kampong halaman saya sudah mendapat perhatian dari Raffles.
Di buku itu, Raffles berterima kasih pada Residen Inggris Mayor Martin Johnson. Raffles menggambarkan, “Peninggalan ini arah Timur dari Surakarta. Jaraknya 26 mil. Pada salah satu bukit kecil di lereng Lawu. Dari Surakarta, jalan yang dilalui terus mendaki. Sebagian daerah gunung dipakai untuk pertanian dan sekitar bukit ada pertanian lahan kering. Sangat indah didiskripsikan.” Raffles lalu menggambarkan candinya secara detail. Bagaimana bangunannya dan ada berapa candi. Ada berapa patung dan bagaimana bentuk patungnya. Raffles mengaitkan ibadah kuno Orang Mesir karena bentuk candi yang pyramidal. Ada juga tulisan dari prasasti dengan bilangan tahun 1362 dan 1361. Raffles mengatakan ukirannya lebih kasar dari ukiran Candi Borobudur atau Prambanan. Di buku Raffles juga ada 11 ilustrasi tentang relief dan patung di Sukuh. Juga disertakan salah satu tulisan Prasasti Sukuh yang ada di balik patung manusia garuda dengan aksara Jawa kuno, turunan dari aksara Pallawa dan Kawi.
Bunyi prasasti tersebut adalah : Lawase rajeg wesi du, k pinerp kepeteg de, ne wong medang ki hempu ra. ma karubuh alabuh geni ha, rbut bumi kacaritane, babajag mara mari setra, hanang tang bango. 1363. Terjemahan bebasnya : Lamanya Rajeg Wesi ketika diserang ditindas oleh Orang Medang. Ki Hempu Rama terbaring (pada saat) labuh geni (orang-orang) saling berebut bumi (Negara). Diceritakan tolak bala kematian kemudian di tempat setra itu ada bangau. 1363. Tahunnya bertanda saka dan bila dijadikan Masehi ditambah 78, jadi tahun 1441 M. Dan saya tertarik prasasti itu untuk mengabadikannya dalam bentuk lain dalam ukiran kayu. Prasasti kayu ini akan dipasang di sebuah dinding vila di Berjo.
Coba kalau Raffles tidak menulis? Bukti-bukti tulisan dia 200 tahun lalu sudah berubah atau hilang. Itulah pentingnya menulis. Dengan menulis nama Sukuh juga terkenal di seluruh dunia. Apa kesannya tentang pemandangan di Sukuh? Raffles yang sudah menjelajah ke banyak penjuru dunia menulis kalau pemandangan di sekitar Candi Sukuh sangat indah didiskripsikan. Maka saya mengamini saja. Memang sangat indah dan saya senang menikmatinya dengan tinggal beberapa hari di Villa Watu Tumpang, Berjo. Merasakan dingin airnya dan sejuk hawanya. Jangan lupa, pemandangan kota Karanganyar dan Solo terlihat memukau. Seperti titik-titik lampu kecil berderet-deret, melingkar-lingkar, bergerombol, berkelap-kelip. Indah sekali. (Sunaryo Broto, Bontang, 5 Agustus 2019)
***
Sunaryo Broto, lahir di Karanganyar, 7 April 1965. Alumni Teknik Kimia, UGM dan Magister Manajemen, Universitas Mulawarman. Bekerja di Pupuk Kaltim, tahun 1992 sampai pensiun 2021. Menulis artikel, cerpen, puisi, esai di media massa dan beberapa telah dibukukan. Alamat Jl. Gunung Belayan No12 Perumahan BSD, Bontang. Email: Sunaryobroto@gmail.com. HP 0811551451. Namanya masuk dalam Buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia, Jakarta 2017. Mendapat penghargaan nomine Tokoh Kebahasaan 2019 Kategori Penggiat Literasi Kaltim-Kaltara dan Nomine Sastrawan Berdedikasi 2020 dari Kantor Bahasa Kalimantan Timur. Menjadi peserta Munsi (Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia) III 2020.