Categories: Khazanah Lereng Lawu

Sebuah Batu yang Mengeluarkan Pesan Diskriminatif

Wayang kulit pada masa-masa dekade 70 hingga awal 80-an merupakan seni pertunjukan yang sangat populer bagi masyarakat di kawasan Lereng Lawu. Mulai dari Kecamatan Ngargoyoso, Karangpandan sampai Tawangmangu dan kecamatan-kecamatan tetangga. Pagelaran wayang kulit pada masa itu seringnya diselenggarakan pada malam hari sepanjang malam atau semalam suntuk. Ada juga yang diselenggarakan pada siang hari, tetapi jarang. Penyelenggara pagelaran adalah perseorangan yang sedang punya hajat yaitu misalnya untuk memeriahkan pesta pernikahan, pesta sunatan atau sekedar nadzar. Tidak ada semacam dewan kesenian lokal yang bertindak menjadi even organizer atau penyelenggara pagelaran. Sehingga di waktu-waktu di musim orang menikahkan atau menyunatkan anaknya maka pada saat itulah banyak digelar pertunjukan wayang kulit di berbagai dusun.

Pertunjukan wayang kulit itu sendiri selalu dijadikan sebagai puncak atau penutup dari rangkaian acara hajatan. Karena sebelum pertunjukan sering didahului permainan gamelan. Untuk permainan gamelan ini—-Istilah setempat gong-gongan atau klenengan—-sejatinya tidak ada yang menarik untuk ditonton tetapi cukup didengarkan merdunya suara instrumen gong yang ditabuh dipadu dengan lantunan aneka tembang oleh pesinden yang merdu suaranya. Jadi maksud pementasan gamelan adalah untuk menghibur para tamu undangan dengan suara gamelan. Pada masa tersebut masih langka music player, yang ada hanyalah cassette player atau tape. Baru setelah satu atau dua hari pentas gamelan digelarlah pertunjukan wayang yang sudah dinanti-nanti banyak orang.

Pada masa itu umumnya pagelaran wayang kulit selalu didahului oleh permainan gamelan. Hampir tidak ada sohibul hajat yang hanya mementaskan wayang kulit saja. Biasanya gabungan pertunjukan wayang kulit dan permainan gamelan ini berupa semacam paket. Misalnya paket klenengan sehari dan ditutup dengan wayangan semalam suntuk. Ada pula klenengan dua dan bahkan tiga hari gamelan dan diakhiri wayangan sebagai puncaknya. Jadi seolah seperti paket 1, paket 2 dan seterusnya. Pilihan paket ini menunjukkan status sosial sohibul hajat. Makin tinggi paket yang dia pilih maka makin besar biaya penyelenggaraannya yang berarti akan dianggap makin tinggi status sosialnya.

Animo yang besar
Ketika satu pertunjukan wayang usai, orang segera menanti-nantikan pertunjukan wayang yang lain. Mereka segara mendata siapa saja pemuda atau pemudi yang akan segera dinikahkan atau bisa juga mencari-cari anak laki-laki yang akan segera disunatkan. Karena pada saat perhelatan tersebut seringnya dimeriahkan dengan wayang kulit. Di kawasan Lereng Lawu, memeriahkan suatu hajatan dengan menggelar wayang kulit merupakan sebuah kebanggaan. Bahkan semacam kepuasan batin. Seseorang jika belum pernah menyelenggaran hajatan yang dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit serasa belum sempurna hidupnya. Sedemikian rupa sehingga orang terus berusaha mencari kesempatan untuk bisa menggelar pertunjukan wayang kulit. Bahkan jika seseorang hanya punya sedikit anak dan semua sudah dinikahkan dengan menggelar pertunjukan wayang kulit sementara yang bersangkutan masih merasa belum cukup maka dia segera mencari-cari momen yang bisa dijadikan alasan untuk menyelenggarakan pagelaran lagi. Momen tersebut bisa berupa nadzar. Nadzar inipun bisa atas berbagai kasus, misalnya seseorang bernadzar akan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit dengan dalang yang kondang jika salah satu anggota keluarganya sembuh dari sakit yang parah. Dan jika atas alasan tidak memiliki beaya untuk nanggap wayang, orang akan tetap bersusah payah dengan mencari utangan atau kalau perlu menjual harta benda. Dengan kata lain, mampu menyelenggarakan perhelatan dengan dimeriahkan pagelaran wayang kulit akan dilihat sebagai sebuah prestasi.

Dusun ini perkecualian   
Penjelasan di atas menyiratkan bahwa seni pertunjukan wayang kulit di Lereng Lawu ini yang membuat orang puas tidak hanya saat menonton tetapi juga ketika seseorang mampu menyelenggarakan pagelaran—-atau menurut istilah setempat nanggap wayang. Oleh karena itu akan menjadi topik bahasan yang sangat menarik ketika ada sebuah dusun yang di situ tidak pernah diselenggarakan pagelaran wayang kulit sepajang masa. Dusun ini bernama Dusun Berjo. (nama homonim, untuk tidak dikacaukan dengan Desa atau Kalurahan Berjo).

Tentu serta merta muncul serentetan pertanyaan yang sulit dijelaskan. Atas alasan apa di Dusun Berjo tidak ada pagelaran wayang kulit? Apakah warga dusun memiliki selera seni lain sehingga mereka tidak tertarik dengan wayang kulit seperti warga dusun-dusun tetangganya? Apakah warga dusun ini kondisi perekonomiannya lebih buruk dibanding perekonomian dusun lain sehingga mereka tidak memiliki cukup uang untuk beaya menyewa dalang beserta perangkat gamelannya? Apakah lokasi Dusun Berjo begitu terpencil dan sulit diakses sehingga tidak memungkinkan mengangkut peralatan gamelan dan perlengkapan wayang kulit? Barangkali banyak pertanyaan lain masih bisa ditambahkan pada daftar tetapi semuanya bukan merupakan alasan absennya wayang kulit di dusun ini. Anda mungkin tidak akan pernah menduga alasannya.

Batu berpesan
Tepat di sebelah timur Dusun Berjo ini terdapat sebuah lokasi yang dikenal dengan nama Ndadah. Tempat ini berupa bukit kecil yang hampir sebagian besar permukaannya tertutup batu-batu terjal yang di sela-selanya berupa mata air. Dari berbagai titik di sini keluar air jernih dan kesemuanya menyatu ke arah bawah menjadi kali yang airnya mengalir samapi jauh dan memberi manfaat kepada dusun-dusun yang dilewatinya. Selain itu juga hampir seluruh bukit terselimuti oleh gerombolan pohon pisang dan beberapa pohon jenis lain. Nah, di bagian atas bukit terisolir berbatu-batu ini terdapat sebuah batu yang berukuran cukup besar dibanding yang lain. Batu ini berbentuk persegi panjang mirip kotak. Karena ukuran dan bentuknya demikian sehingga bagi orang yang mengamatinya akan mengingatkan batu ini dengan kotak wayang, yaitu kotak terbuat dari kayu yang dipakai oleh Ki Dalang untuk menyimpan wayang kulit yang belum dan yang sudah dimainkan dalam pertunjukan. Dan posisi batu ini tepat menghadap ke Dusun Berjo yang ada seberang bukit. Ternyata dari bentuk dan posisi batu yang demikian oleh warga dusun diartikan sebagai sebuah pesan larangan yang ditujukan kepada mereka untuk tidak menggelar pertunjukan wayang kulit di dusun tempat mereka tinggal. Tidak jelas asal mulanya hingga mereka membuat penafsiran demikian. Namun bagi mereka pesan ini cukup kuat dan jelas. Sehingga jika pesan ditransformasikan dalam bentuk verbal, batu ini akan meneriakkan ucapan: “Wahai warga Dusun Berjo! Kalian jangan menggelar pertunjukan wayang kulit di dusun kalian.” Warga terus menerus memegang teguh pesan sejak lama dan diwariskan secara turun temurun. Alhasil di Dusun Berjo merupakan satu-satunya dusun di kawasan Lereng Lawu yang belum pernah diselenggarakan pagelaran wayang kulit. Sering beredar cerita dari mulut ke mulut, bahwa pernah suatu ketika ada warga dusun yang nekat melanggelar pertunjukan wayang kulit dan berakhir dengan fatal. Yaitu Ki Dalang tiba-tiba jadi bisu, tidak bisa berbicara.

Menariknya, mereka masih menafsirkan aturan ini dengan rincian yang lebih detail lagi. Yaitu aturan ini hanya berlaku untuk menyelenggarakan pertunjukan, tetapi kalau warga mau menontonnya di dusun-dusun lain diperbolehkan. Larangan juga tidak berlaku untuk wayang orang sehingga pernah diselenggarakan pertunjukan wayang orang di Dusun Berjo.

Di seantero kawasan Lereng Lawu, fenomena seperti ini sudah jamak. Segala sesuatu yang berkaitan dan atau berasal dari perkara-perkara gaib dan makhluk halus akan menjadi aturan tak tertulis yang memiliki kekuatan. Sedemikian rupa sehingga warga akan bersikap take for granted terhadap hal tersebut. Mereka akan menerima ketentuan seperti itu dengan ikhlas meskipun bertentantangan dengan keinginan yang besar. Jadi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sementara di dusun-dusun sekitarnya orang akan berbangga-bangga karena mampu menyelenggarakan pagelaran wayang kulit, namun warga Dusun Berjo harus rela mengubur dalam-dalam keinginan untuk itu. Tidak pernah ada aksi penentangan atas larangan diskriminatif ini. Juga tidak pernah ada yang mempertanyakan larangan ini sampai kapan berakhirnya, dan apa alasan di balik larangan ini. Apalagi merancanakan aksi untuk menyerang batu yang bersikap tidak adil ini, tidak akan. Hal-hal gaib masih menjadi panglima.

(mohammad.maskum@mail.ru)

Redaksi

staf redaksi sukuh.com

Recent Posts

Pabongan Orchid, Berbisnis Cantiknya Anggrek di Lereng Lawu

Menurut Badan Pusat Statistik, anggrek adalah komoditi andalan sektor florikultur atau tanaman hias. Tanaman ini…

11 months ago

Inilah Jenis Anggrek Alam yang Paling Banyak Tumbuh di Lereng Gunung Lawu

Dilihat dari aspek ekonomi anggrek merupakan tumbuhan dengan nilai estetika tinggi yang menarik orang untuk…

1 year ago

Pordjo Abdul Ghani, Trah Berpengaruh di Lereng Barat Gunung Lawu

Tanah lereng Gunung Lawu bagian barat adalah tempat lahirnya komunitas-komunitas besar yang kalau ditelusuri hingga…

2 years ago

Dikotomi Lor Kali – Kidul Kali: Antara Mitos dan Realitas

Ketika suatu wilayah dilintasi sebuah sungai atau kali maka akan terjadi pembelahan wilayah tersebut menjadi…

2 years ago

Jalak Gading, Burung Pemandu Jalan Pendaki Gunung Lawu

Pengelola wahana wisata Cemoro Kandang Park, Anis Susilowati memamerkan foto seekor burung kepada kolega dan…

2 years ago

Dari Inkubasi Bisnis Sampai Bukit Paralayang Segorogunung

Di Desa Segorogunung, transformasi pemberdayaan masyarakat desa dan mengkaitkannya dengan pengembangan wisata desa dilakukan secara…

3 years ago