Sudah hampir 3 dekade publik mengenal khasiat tumbuhan yang diduga sebagai obat kuat laki-laki. Nama lokal tanaman itu adalah purwoceng atau purwaceng. Saat publik mulai mengenal khasiat tumbuhan ini dahulu, orang mengasosiasikan bahwa purwoceng sebagai tumbuhan khas dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Hampir seluruh bagian tanaman purwaceng bisa dimanfaatkan, namun yang banyak diambil adalah bagian akarnya. Akar purwaceng umumnya diolah menjadi bentuk bubuk atau serbuk, dan dijadikan campuran minuman seperti kopi atau bahkan susu.
Adanya sejumlah bahan kimia di dalam akar purwaceng yang membuatnya dianggap memiliki berbagai khasiat, termasuk menambah stamina pria. Lantas banyak yang kemudian bertanya-tanya, apakah memang benar purwaceng bisa mengatasi masalah disfungsi ereksi?
dr. Widi Atmoko, Sp.U(K) dari Departemen Urologi FKUI-RSCM menjelaskan, sebagian masyarakat memang meyakini beberapa obat herbal, termasuk di antaranya purwaceng dan pasak bumi, dapat mengobati disfungsi ereksi. Namun, menurut Widi, sejauh ini klaim tersebut belum dibuktikan melalui uji klinis.
Sebenarnya tumbuhan purwoceng yang selama ini banyak dikenal publik adalah purwoceng yang memiliki nama ilmiah Pimpinella pruatjan Molk. Nah dari sebuah skripsi seorang mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, bernama Rahadhian Tegar Taufani, ada informasi lain. Dalam penelitian skripsinya yang dilakukan tahun 2012 di hutan Grojogan Sewu Tawangmangu itu, ia melakukan penelitian purwoceng gunung yang memiliki nama ilmiah Artemisia lactiflora Wall.ex DC.
Secara penampakan morfologis dua jenis tanaman ini memang hampir sama. Namun menurut Taufani, tumbuhan purwoceng gunung ini belum banyak diketahui hal ihwalnya. Keberadaan purwoceng gunung lebih mudah diperoleh, dan berbeda dengan purwoceng yang kebanyakan telah dibudidayakan di pegunungan Dieng itu (Syamsul, 2011). Purwoceng gunung memiliki kandungan kimia berupa saponin, kardenolin, flavonoid, dan minyak atsiri (Depkes, 1999).
Di dalam skripsi yang berjudul Kajian Morfologi dan Agroekologi Tumbuhan Obat Purwoceng Gunung (Artemisia lactiflora Wall.) di Wilayah Gunung Lawu tersebut, dengan mengutip Heyne (1987) menyebutkan bahwa purwoceng gunung memang banyak didapati di Dataran Tinggi Dieng, Gunung Lawu, Gunung Pangrango, Gunung Galunggung, Pegunungan Tengger dan Iyang.
Sebenarnya dalam skripsi ini disebutkan bahwa khasiat dari purwoceng gunung ini agak berbeda dengan purwoceng yang sudah dikenal publik. Diduga khasiat purwoceng gunung ini lebih berguna sebagai obat anti radang, pelancar haid dan peluruh air seni. Namun dari penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat senyawa stigmasterol yang juga terdapat pada akar purwoceng gunung (Artemisia lactiflora Wall. ex DC.) sehingga dapat mendasari penggunaannya sebagai bahan baku herbal peningkat vitalitas pada laki-laki.
Penelitian ini memang tidak membahas manfaat tumbuhan purwoceng tersebut. Namun, karena ada indikasi bahwa populasi purwoceng gunung mengalami erosi genetik, sehingga dikhawatirkan terancam punah. Aktivitas manusia seperti penebangan liar, kebakaran hutan, alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan wisata, kemudian juga bencana tanah longsor akan mengubah rona lingkungan di tempat tumbuhan ini tumbuh seperti di lereng Gunung Lawu ini. Kondisi ini yang dikhawatirkan akan mengancam keberadaan tumbuhan yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Sehingga penelitian ini memilih permasalahan agroekologinya.
Penelitian ini di satu sisi mencoba mengenali tumbuhan ini dari sisi ciri-ciri morfologi dan di sisi lain mencoba melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan (potensi ketersediaanya) di lingkungan tumbuhnya. Untuk melihat keberadaannya, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis vegetasi.
Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah bahwa pola sebaran tumbuhan purwoceng gunung di habitat aslinya, yakni hutan Grojogan Sewu Tawangmangu memiliki kepadatan yang rendah. Hal ini tentu sesuatu yang mengkhawatirkan. Namun juga direkomendasikan untuk dilakukan penelitian lanjutan apakah tumbuhan ini memang benar-benar telah masuk dalam kategori punah, sehingga perlu upaya-upaya konservasi, atau belum.
Namun paling tidak penelitian ini kembali memberi pesan kepada kita, bahwa kawasan lereng Gunung Lawu pada dasarnya menyimpan potensi besar di bidang keragaman hayati (biodiversitas). Potensi tersebut barangkali secara ekonomi untuk dibudidayakan dan memberikan kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat yang ada di lereng Gunung Lawu.
Agar, kita bisa secara bijak mengelolanya, maka perlu ada penelitian yang dilakukan lebih terlebih dahulu sebelum melakukan budidaya dan eksploitasi, agar kita tidak kehilangan kekayaan hayati yang berharga ini.
Menurut Badan Pusat Statistik, anggrek adalah komoditi andalan sektor florikultur atau tanaman hias. Tanaman ini…
Dilihat dari aspek ekonomi anggrek merupakan tumbuhan dengan nilai estetika tinggi yang menarik orang untuk…
Tanah lereng Gunung Lawu bagian barat adalah tempat lahirnya komunitas-komunitas besar yang kalau ditelusuri hingga…
Ketika suatu wilayah dilintasi sebuah sungai atau kali maka akan terjadi pembelahan wilayah tersebut menjadi…
Pengelola wahana wisata Cemoro Kandang Park, Anis Susilowati memamerkan foto seekor burung kepada kolega dan…
Di Desa Segorogunung, transformasi pemberdayaan masyarakat desa dan mengkaitkannya dengan pengembangan wisata desa dilakukan secara…